Beragama Abai Nalar
Beberapa hari lalu, lupa tepatnya di mana, menemukan komentar “ibadah kog online, kayak belanja….” Hal yang sejatinya memalukan, ironis, dan getir. Ketika sedang berupaya terbebas dari pandemi yang sudah hampir dua tahun, masih saja pola pikir demikian ada.
Pada sisi lain, tetangga kita berlomba-lomba mengadakan ibadah dengan mengabaikan prokes. Acara-acara tidak penting pun mereka gelar dengan gegap gempita. Kog tidak malu bahwa sesama mereka tidak bisa merayakan, bahkan apa yang wajib, setahun sekali, Paskah. Minimal mereka paham, gedung gereja hampir selalu tutup.
Pembahasan ini bukan bicara agama, namun cara beragama. Bagaimana agama dan berlaku sebagai orang beragama tentu saja harus berakal. Iman memang urusan hati, spirit, roh, namun jangan lupakan rasio yang membantu untuk itu.
Mengapa beragama abai nalar menjadi kupasan?
Komentar ibadah kog online, secara tidak langsung telah menempatkan Tuhan pada posisi terbatas. Bagaimana pertanggungjawaban Tuhan Mahatahu dan Mahabesar jika demikian. Zaman berubah, teknologi itu juga dari Tuhan Sang Pencipta, melalui tangan-tangan terampil manusia.
Apa salahnya dengan ibadah online? Tuhan itu tidak terbatas ruang dan waktu. Keberadaan-Nya ada di mana-mana. Kehendak Tuhan pula adanya pandemi.
Komentar demikian juga mempertontonkan sikap egoisme dan menang sendiri. Masa pandemi ini, selain menjaga diri juga menjaga sesama. Bagaimana keberadaan kita, bukan malah menjadi batu sandungan, potensi menularkan, dan juga kemungkinan membawa keadaan lebih buruk.
Salah satu sikap iman itu ketaatan, taat pada pemimpin itu juga wujud nyata beragama. Bagaimana bisa mengaku beriman dan beragama, jika hidupnya masih berkutat pada diri sendiri dan mengumpulkan pahala, abai keselamatan dan kesejahteraan bersama.
Mahakasih Tuhan tereduksi keinginan manusiawi yang cenderung tampil dan memperlihatkan apa-apa yang dilakukan. Padahal Tuhan mengatakan, kalau kamu berdoa, hendaklah masuk kamar dan tidak ada yang mengetahui selain Bapamu. Konteks ini tentu saja karena pandemi, bukan pada masa normal. Jika keadaan normal dan ikut ibadah online itu sih malas.
Salam YMY
Sebuah pendapat yang indah, karena melihat dari 2 sudut pandang, tetapi menguraikannya dengan profesional
Waduh kolumnis Kompas je yg komen ha ha nuwun Mas Joko
Jaman Abraham ibadah di depan mezbah batu dg korban bakaran. Ibadah hny sarana mns utk ketemu Tuhan sesuai kemampuan akal budinya. BagiTuhan mau sarana apa saja tdk masalah, termasuk online. Lanjut…
Setuju
Kadang pada aneh sarana menjadi tujuan sedang tujuan e mleset
Jaman Abraham ibadah di depan mezbah batu dg korban bakaran. Ibadah hny sarana mns utk ketemu Tuhan.BagiTuhan mau sarana apa saja tdk masalah, termasuk online. Lanjut…
Setuju