Mengenal Sosok dan Gerakan Tradisionalis Anti Konsili Vatikan II
Siapa Marcel Lefebvre?
Marcel Lefebvre dilahirkan pada 29 November 1905 di Tourcoing Perancis. Ditahbiskan sebagai imam Gereja Katolik Roma pada 18 September 1929 oleh Uskup Achile Lienart dalam Konggregasi Holy Ghost Fathers (HGF) dan berkarya sebagai misionaris di wilayah Afrika berbahasa Perancis ( Gabon, Senegal), lalu sebagai Uskup Agung Dakar pada usia sangat muda 43 tahun pada tahun 1948. Ia juga menjadi Superior Jendral untuk Kongregasi HGFdari 1962 sampai 1968.
Menambah cemerlangnya karir gerejawinya, ia menjadi anggota komisi persiapan persiapan Konsili Vatikan II (KVII) dari 1960 sampai 1962, namun teks –teks usulannya yang menekankan tradisionalisme Gereja seperti penggunaan Ritus Misa Tridentine berbahasa Latin ditolak dan bahkan digantikan dengan bahasa vernacular ( bahasa yang digunakan umat lokal atau bangsa tertentu), bukan hanya Latin. Ia juga sangat tidak setuju dengan perihal ekumenisme dan hubungan dengan agama-agama lain yang dimuat dalam KV II . Lefebvre sangat kecewa dan sakit hati dengan menuduh KV II sebagai “bidaah”, “sesat” dan “anti-Kristus” karena mengakomodasi roh modernisme, liberalisme dan demokrasi. Akhirnya ia pun keluar dari keanggotaan komite konsili.
Mendirikan kelompok Coetus Internationalis Patrum sebagai forum untuk melakukan kritik-kritik tajam terhadap KV II, dan bersama Castro Meyer Uskup Brasil membuat surat terbuka kepada Paus untuk memprotes kesalahan-kesalahan KV II. Tampaknya kelompok ini gaungnya tidak berarti, bahkan tahun 1968 ia terdepak dari jabatan Superior Jendral melalui Kapitel Jendral Kongregasi HGF.
Pada usia 63 tahun, Lefebvre mendirikan seminari di Econe, Swis atas ijin dan restu Uskup setempat, Mgr.Francois Charrere. Dengan alasan menanggapi permintaan kaum muda yang berniat melestarikan nilai-nilai tradisional Gereja Katolik, seminari ini diawali dengan 11 peserta. Para seminaris dididik berdasarkan nilai-nilai tradisional Gereja, terutama dengan menjalankan tradisi Ritus Misa Tridentine dalam Bahasa Latin yang diklaim akan membentuk iman Katolik sejati.
Apa itu SSPX?
Society of St.Pius X (SSPX) sebagai organisasi persaudaraan yang melanjutkan gerakan tradisionalis tak bisa dipisahkan dari sosok pendirinya, Marcel Lefebvre. Atas restu Uskup setempat, SSPX resmi berdiri pada 1 November 1970 untuk menaungi seminari yang nantinya akan melahirkan imam-imam sebagai penerus dan garda depan misi Lefebvre. Dalam perkembangannya SSPX telah membuka seminari-seminari baru di Jerman, Amerika, Argentina dan Australia, bahkan kelompok Bruder dan Suster serta Ordo Ketiga kaum awam pun mulai terbentuk. Menurut situs sspx.org, SSPX sudah menyebar ke penjuru dunia menampung orang-orang yang rindu kebesaran nilai-nilai tradisional Gereja Katolik, khususnya Misa Tridentine dalam Bahasa Latin.
Pada tahun 1988, Lefebvre dibantu Castro Meyer menahbiskan 4 uskup baru SSPX tanpa seijin Tahta Suci. Peristiwa ini memicu pihak Roma mengirim utusan untuk meninjau seminari SSPX di Swiss. Pada tahun 1976, Tahta Suci melalui uskup setempat (baru) memberi sanksi kepada Lefebvre ab ordinum collatione– dilarang menahbiskan dan memandang yang tertahbis sebagai tidak sah, bahkan sanksi diperkuat dengan divinis, yakni Lefebvre dan para uskup serta imam SSPX dilarang melakukan pelayanan suci, termasuk Misa. Pada tahun itu pula Paus Yohanes Paulus II memberi sanksi ex communio kepada Lefebvre dan kelompoknya (lebih dari 60.000 pengikut) karena dianggap menjadikan perpecahan (Schismatic).
Marcel Lefebvre meninggal pada 25 Maret 1991 dan dimakamkan dekat seminarinya di Econe, Swiss. Pada makamnya terpahat tulisan yang dikutip dari 1 Korintus 15:3: Tradidi quod at accepi – Aku menyampaikan apa yang telah aku terima.
SSPX Kini
Sepeninggal sang pelopor dilanjutkan oleh Bernard Fellay (uskup SSPX) yang pada 1994 ditunjuk sebagai Superior Jendral SSPX sebagai pengganti Lefebvre. Manuver Fellay dilakukan pada tahun 2000 ketika ia mengajak seluruh jajaran petinggi SSPX berkunjung ke Roma sebagai bukti baktinya kepada Gereja Katolik dan pengakuan bahwa Tahta Suci sebagai wakil Kristus di dunia. Tindakan ini berhasil menarik hati Paus Benediktus XIV yang merespon melalui terbitnya Motu Proprio Summorum Pontifacum yang poin pokoknya “mengijinkan penggunaan Misa Tredintine” dan “mencabut sanksi ekskomunikasi” terhadap SSPX. Tentu Paus melakukan itu dengan alasan dan harapan kelompok ini bisa bergabung lagi ke pangkuan Bunda Gereja, dan terhindar dari skisma atau perpecahan.
Apa dengan demikian SSPX kembali patuh kepada Gereja Katolik Roma? Namanya kelompok fundamentalis-radikalis tentu tidak mengenal kata kompromi atau win win solution, keyakinan dan tuntutannya selalu mutlak. SSPX saat ini memiliki 600 imam dan 500 ribu lebih pengikut di seluruh dunia. Di negara-negara maju, SSPX melakukan kegiatan secara terbuka dengan gereja-gereja dan para imamnya. Di Indonesia, bukan berarti tidak ada, ditemukan postingan medsos dengan gambar pastor dan sekelompok umat yang sedang merayakan Misa Tridentine di wilayah elite Jakarta. Apakah ini SSPX atau sekelompok umat yang bernostalgia? Tidak jelas, masih perlu investigasi dan klarifikasi. Namun demikian, di era globalisasi dengan dunia virtualnya, SSPX rupanya memanfaatkan ini untuk menyebar keyakinan dan pengaruhnya di tengah umat khususnya melalui medsos atau dunia maya. Mereka nyata ada di sekitar kita, bergerilya dan bersembunyi di rimba virtual. Contoh, pada saat webinar Motu Proprio Tradisionis Custodes(MPTC) yang dihelat Ikatan Alumni IFT-FTW USD pada 22 Agustus 2021, terdeteksi ada 5 “penyusup” sebagai peserta dengan identitas tidak jelas, ada yang atas nama Marcel Lefebvre, langsung membuat pertanyaan lewat chat yang sangat jelas sebagai kaum tradisionalis. Di media-media online negara-negara maju, serangan-serangan mereka terhadap Gereja Katolik dan Konsili Vatikan II juga semakin gencar. Barangkali dengan latar belakang seperti, Paus Fransiskus mengeluarkan MPTC walau pun tidak secara tersurat untuk menyebut gerakan SSPX, tapi jelas membatasi ruang gerak mereka dan dengan harapan masih bisa menghindari perpecahan. Tetapi bukankah kaum tradisionalis adalah kelompok yang konsisten untuk tidak mau berubah? ( Paul Subiyanto—dari berbagai sumber)