Sekolah Bukan Pertandingan
Kecerdasan anak saya itu biasa-biasa saja, nilai rapor selalu rata-rata, juga tidak pernah juara atau masuk ranking sepuluh besar.Sebagai orangtua saya kawatir nantinya ia akan kesulitan di tingkat pendidikan lanjutan yang semakin kompetitif. Saya coba memasukkannya ke bimbingan belajar, bahkan juga ikut les privat. Namun demikian hasilnya tidak jauh berbeda. Saya harus bagaimana?
Memang benar praktik pendidikan di sekolah kini sangat diwarnai suasana persaingan yang semakin ketat bukan hanya antar sekolah melainkan juga antar siswa. Sekolah menjadi medan laga pertandingan untuk merebut gelar kejuaraan atau peringkat keunggulan. Sebagaimana layaknya sebuah pertandingan, maka akan lahirlah sang juara, namun juga berarti juga menghasilan para pecundang.Untuk bisa memenangkan kejuaraan berarti anak harus mengalahkan anak lainnya.Tak ada lagi kawan, karena setiap orang adalah lawan yang harus dikalahkan kalau tak ingin jadi korban.Segala cara dan strategi untuk mengalahkan lawan dan memenangkan pertandingan mesti dikuasai entah secara sportif atau curang kalau perlu.Pendidikan bukan lagi sebagai proses pendewasaan diri sebagai manusia bersama yang lain, melainkan semata-mata untuk meraih juara dan peringkat dengan mengalahkan orang lain. Sekolah –sekolah berlomba mengejar predikat “unggulan”, “favorit”, “disamakan” dengan memacu segelintir muridnya untuk menggondol “ranking” “juara”, “sepuluh besar”.Olimpiade-olimpiade menjadi ajang untuk meraih prestise sekolah. Itulah atribut-atribut sebuah pertandingan, bukan pembelajaran. Korban-korban pun berjatuhan, juara hanya 3 orang, ranking hanya 10 orang ,sisanya yang ratusan anak bahkan ribuan hanya dipandang sebagai orang-orang gagal. Stigma sebagai anak gagal inilah yang mengganggu proses tumbuhkembang mereka.Demikian seterusnya, jalan-jalan yang mulus hanya tersedia untuk para juara, yang lain menyusuri jalan yang terjal sebagai manusia-manusia gagal. Aroma kompetitif ini juga yang memicu suburnya dampak ikutan dalam praktik pendidikan seperti menjamurnya lembaga bimbingan sebagai dagangan bisnis yang laris manis, guru-guru pun kecipratan rejeki di tengah himpitan ekonomi melalui les privat tak peduli lagi apakah etis atau tidak.Bisnis buku-buku pelajaran yang sekedar kumpulan soal dengan mengobral diskon 40 % pun merajalela. Semua ini ibarat dopping bagi calon-calon juara, yang cepat atau lambat justru akan menumpulkan bahkan mematikan potensinya.Benarkah hidup ini sebuah pertandingan yang harus dimenangkan dengan mengalahkan orang lain? Kalau memang demikian, hukum rimba darwinisme survival for the fittest hanya yang kuat yang bisa bertahan hidup– akan berlangsung terus dan kata-kata Plautus “homo homini lupus”-manusia adalah serigala bagi manusia lainnya- pun mendapat pembenaran di sini.Dunia bukan hanya pertandingan melainkan medan laga para gladiator atau para petarung. Kalau memang demikian, wajarlah kalau pendidikan adalah menyiapkan para petarung yang tangguh yang mampu menyingkirkan “yang lemah”. Istilah-istilah seperti “unggul”, “rangking”,”juara”,”sepuluh besar”, “terbaik” adalah kosa kata pertandinga. Kalau paradigma kompetisi ini yang terus melandasi praktik pendidikan, sebenarnya manusia sedang menuju ke kehancuran dan pemunahan diri.Manusia bisa belajar dari sejarah makhluk hidup yang lain seperti binatang—justru yang paling kuat yang paling cepat punah mulai dari spesies dinosaurus, macan, elang, hiu, dst.Sebaliknya yang bertahan hidup justru “yang lemah” seperti keluarga serangga dan kuman yang semakin merajalela! Hanya binatang yang berada dalam jaring-jaring saling ketergantungan ekosistem yang masih bertahan hidup.Oleh sebab itu, saatnya bagi kita meredefinisikan paradigma kita tentang pendidikan.Saatnya bagi kita untuk memandang pendidikan bukan sebagai pertandingan atau penyiapan para calon juara.Pendidikan adalah potret kehidupan itu sendiri tempat satu sama lain saling bergantung dan melengkapi.Suatu wahana bagi siapa saja dengan keunikannya masing-masing boleh berperan dan memberi kontribusi.Tak ada lagi yang kuat dan yang lemah, yang ada adalah setiap pribadi yang bebas mengembangkan diri sesuai dengan keunikannya. Semangat untuk “memenangkan diri dengan mengalahkan orang lain” diganti dengan “ kemenangan diri karena kontribusi orang lain”.Sesamaku bukan lawan yang harus kukalahkan, melainkan mitra yang sangat kubutuhkan untuk meraih kemuliaan bersama.Motto bukan lagi “ apa yang bisa kudapat dan kuraih?” melainkan “ apa yang bisa kusumbangkan dari diriku?”Suasana kompetitif mesti diganti dengan lebih kooperatif, kolaboratif. Antara siswa satu dengan yang lain bukan lagi diadu, dikonteskan, dipertandingkan, dan diperbandingkan, melainkan diajak untuk saling bekerjasama, saling menolong dan melengkapi satu sama lain. Pengelompokan eksklusif dan pelabelan sebagai kelas atau sekolah unggulan mesti dihentikan. Meja-meja kelas mesti disatukan menjadi tempat bagi para siswa untuk mengerjakan proyek bersama.Tak perlu lagi tangan-tangan menutupi kertas kerja dari pandangan sebelahnya karena takut dicontek, sebaliknya tangan mereka akan bergandengan dan selalu terbuka bagi sesamanya terutama justru yang paling membutuhkan. Prestasi-prestasi lebih diarahkan sebagai keberhasilan kelompok daripada individual. Ketrampilan –ketrampilan untuk berkomunikasi dan berrelasi lebih dikembangkan daripada menghafal dan mengerjakan soal-soal yang steril tanpa konteks.Dengan cara demikian, pendidikan akan memberi kontribusi bagi kelangsungan peradaban dan sejarah bangsa manusia menuju ke kemuliaan dirinya.Paus Fransisikus mengatakan “saatnya membangun jembatan bukan benteng”
Setuju, belajar bersama untuk maju dan berkembang baik bersama. Salam hangat