Andai Aku Menjadi Ayam Jago Aduanmu

Andai Aku Menjadi Ayam Jago Aduanmu

Laki-laki tua yang ada duduk di depanku masih kuat menghisap rokok lintingan. Ia mengemas tingwe (linthingan dhewe) atau melinting sendiri. Aku selalu melihat, laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu meracik rokok. Ia menyiapkan kertas linting, menjumput tembakau, cengkeh kering, dan kadang membubuhinya dengan kemenyan. Tiap lintingan yang sudah selesai diletakkan dalam kotak cerutu merk ternama. Kotak cerutu diminta dari seorang pastor Belanda, ketika ia berkunjung ke rumah.Ia, bapakku, mana mungkin mampu membeli cerutu terkenal. “Bisa dapat kotaknya saja sudah lumayan…,” katanya bangga.

Semenjak ibu meninggal beberapa tahun lalu, bapak tampak lebih menikmati hidup dengan rokok hisapnya. Bapak melakukan dengan bertengger di kursi kayu yang sudah memudar warnanya. Ia bisa berjam-jam di tempat itu sembari mengangkat kedua kaki dan mendekapnyadengan satu tangan. Satu tangan lain, tentu saja, memegang lintingan menghisap rokok, menghembuskan asap dan mengibas-ngibaskannya hingga menyebar ke udara. Ia akan memandang asap yang membubung dan terkadang terkekeh sendirian. Tampaknya, bapakku menghantar asap yang terbang bebas membubung ke udara. Aroma rokok lintingan menyerbak dan menyengat penciuman.

Sementara bapak sibuk dengan rokok lintingannya, aku lebih giat dengan beberapa ayam jago aduan. Seorang pengusaha dari Jakarta menyerahkan hewan itu agar aku untuk memelihara dan merawatnya. Dari usaha seperti itu, aku mendapat imbalan jasa. Aku mengurus beberapa ayam jago aduan dengan cermat.Aku memandikan ayam –ayam itu dan menjemurnya. Supaya lebih ampuh ketika bertanding, aku memberinya asupan makanan seperti beras merah, jagung, ataupun kedelai. Aku kadang memberi semacam doping berupa ramuan air, jahe, bawang putih, madu tawon, telur ayam atau bebek, jeruk nipis, bubuk merica dan kopi. Bapakku tergoda untuk menyaksikan apa yang sedang kulakukan. Perhatian bapak kepadaku tak begitu kugubris. Aku merasa, bapakku telah menemukan dunianya. Tiba-tiba, ketika aku melintas di depan kursi reot yang didudukinya, bapak berkata, “Andai aku menjadi ayam jago aduanmu.” Sebelum aku menanggapi perkataan bapak, beberapa ayam jago pun sontak berkokok tiga kali tanda kegirangan.***

C. IsmulCokro

C. IsmulCokro (CB. Ismulyadi), tinggal Sleman. Pernah studi di Fak Teologi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (Fakultas Teologi Wedha Bhakti) dan Ilmu Religi Budaya USD. Sampai saat ini masih berkarya sebagai ASN. Giat dalam dunia penulisan sebagai writerpreneur, editor freelance, redaksi salah satu tabloid dan memotivasi berbagai kalangan yang akan berproses menulis dan menerbitkannya. Email: cokroismul@gmail.com. FB. Carolus ismulcokro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *