Asmat Memanggil
Misi ke Agats Bagian Kedua
Pilihan jatuh pada Keuskupan Agats, Papua. “Dalam diri ini masih tertanam sebuah semangat yang sekian tahun lamanya saya hayati,” kata Romo Anton R. Tjokroatmodjo. Semangat Pastor JB Berthier MS, pendiri Tarekat MSF, “Pergi diutus untuk Gereja yang jauh”.
Romo Tjokro memilih menjadi imam deosesan di Keuskupan Agats. Permohonannya diterima oleh Mgr. Aloysius Murwito OFM, Uskup Keuskupan Agats. Romo Tjokro melihat, selain medan karya di Keuskupan Agats tidak jauh berbeda dengan medan karya perutusan di Kalimantan, juga menemukan medan yang sesuai dengan pesan Pastur Berthier. “Di sini saya menemukan kenyataan seperti tersirat dari pesan spiritual pastor Berthier,” jelas Romo Tjokro.
Secara geografis, Keuskupan Agats berada di Wilayah Kabupaten Asmat, Propinsi Papua. Keuskupan ini merupakan pemekaran dari Keuskupan Agung Merauke. Jumlah umat katolik di Keuskupan Agats berjumlah 57.670 jiwa, yang tersebar di 14 Paroki dan tiga Kuasi Paroki. Data tersebut berdasarkan statistik Keuskupan Agats pada 20 Desember 2020. Jumlah penduduk di Kabupaten Asmat sejumlah 150.605 jiwa per data statistik pada 2 Juni 2021.
Pintu masuk ke Kabupaten Asmat maupun Keuskupan Agats dapat ditempuh melalui moda transportasi udara dari Timika menuju Bandara Yuventius Alfonsus Biakai – Ewer, Agats. Di samping itu, untuk sampai ke Agats dari Timika juga dapat mempergunakan transportasi laut.
Pada awalnya bandara ini hanya dapat didarati oleh pesawat kecil jenis Cesna dengan kapasitas 9 penumpang. Mulai 20 Agustus 2021, Bandara Ewer sudah dapat dipakai mendarat penerbangan jenis pesawat ATR dengan kapasitas 70 penumpang.
Saat awal bertemu Mgr. Aloysius Murwito OFM melontarkan kepada Romo Tjokro, “Bagaimana perbedaan karya di Kalimantan dan di Agats?” Secara jujur, Romo Tjokro menjawab bahwa kondisi social ekonomi dan pendidikan di wilayah Asmat tertinggal 20 tahun di banding kondisi sosial di Kalimantan. Kebanyakan anak-anak kelas 5 SD belum lancar membaca dan menulis. Romo Tjokro menuturkan bahwa sebagian besar anak usia sekolah di kampung-kampung, lebih sering diajak orang tuanya untuk mendari makan di hutan. Memetik hasil hutan dan alam untuk kebutuhan hari itu.
Pada awalnya, Romo Tjokro mendapat tugas pelayanan di sebuah paroki di luar kota Agats. Jaraknya dari Agats sejauh satu setengah jam perjalanan menelusuri sungai mengggunakan speedboat berkekuatan mesin 40 PK. Paroki tersebut juga melayani sembilan stasi di sejumlah kampung yang terpencar.
Stasi terdekat dari gereja paroki berjarak tempuh 25 menit perjalanan lewat jalur sungai. Sementara stasi paling jauh memerlukan jarak tempuh 4,5 jam dari pusat paroki, yang lokasinya di tengah hutan. Kebanyakan umat berpata pencarian adalah pencari gaharu.
Untuk ke stasi yang jauh, Romo Tjokro harus menginap. Di samping tidak memungkinkan untuk kembali ke pusat paroki karena hari sudah gelap, juga terlalu riskan menelusuri sungai yang lebar pada malam hari. Sebaliknya, dengan bermalam di stasi, Romo Tjokro bisa membangun relasi pastoral dengan umat, paling tidak dengan sebagian yang bisa bertemu di kampung atau beberapa yang datang ke “pastoran”.
Selain tugas pelayanan parokial, Bapa Uskup juga meminta Romo Tjokro untuk mengetuai gerakan Credit Union. “Hal ini bisa terjadi gegara ada orang yang membocorkan, bahwa ketika berada di Kalimantan, saya sudah bergelut dengan gerakan Credit Union ini,” ujar RD Tjokro. (Unggul)