Belajar Menghargai Hidup

Belajar Menghargai Hidup

Sebagai orangtua saya sangat prihatin dan mengkawatirkan dengan maraknya tindak kekerasan di sekitar kita, bahkan di seluruh dunia. Manusia begitu mudah membunuh sesamanya tanpa alasan. Bagaimana agar anak-anak kita bisa terhindar dari kebiasaan buruk yang mengancam kehidupan manusia ini ?
   Memang benar adanya bahwa maraknya praktik kekerasan di dunia ini benar-benar telah melukai harkat kemanusiaan. Teror bom bunuh diri semakin menggila baik dari segi metodenya maupun targetnya, tindak kriminalitas dengan melukai bahkan membunuh korbannya.  Hidup menjadi tak berharga, dan bisa dihilangkan kapan saja tanpa alasan yang jelas.  Mudahnya manusia menghilangkan dan menyingkirkan hidup orang lain pertanda mulai tergerusnya penghargaan terhadap humanitas dan kehidupan itu sendiri.  Perlu ditumbuhkan sejak dini kesadaran bahwa hidup itu berharga, baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain.
Menghargai Tubuh
      Tubuh manusia adalah fakta adanya kehidupan yang paling riil dan dialami secara langsung.  Manusia adalah makhluk yang bertubuh, tanpa tubuh berarti ia makhlus halus atau jin. Tanpa tubuh , manusia tidak mampu berbuat apa-apa termasuk aktivitas mental dan spiritual. Pandangan keagamaan atau spiritualitas yang meremehkan tubuh, dan mengagungkan kemutlakan jiwa atau roh jelas berdampak pada sikap dan perilaku yang tidak menghargai hidup manusia.  Demikian juga pandangan yang menganggap tubuh sebagai sumber dosa dan nafsu, termasuk yang mengingkari hidup nyata di dunia ini dan lebih berorientasi di kehidupan surga.  Sekali lagi, Tuhan menciptakan manusia dengan tubuh dan bertempat di dunia ini.  Oleh sebab itu, kebertubuhan dan keduniawian manusia tetap ada nilai dan keindahannya.
    Para pelaku bom bunuh diri yang menyebut dirinya sebagai “pengantin” adalah contoh kongkret pandangan sesat yang mengingkari kehidupan duniawi untuk mendapatkan pahala surgawi, yang ironisnya dipahami sebagaimana kenikmatan duniawi dengan bidadari-bidari cantiknya.  Justru tugas manusia untuk memperbaiki dunia ini agar menjadi “surga”, bukan malah menghancurkannya demi mendapatkan surga secara egois.  Sebobrok dan seburuknya dunia ini, toh Tuhan masih terus menciptakan manusia melalui kelahiran bayi-bayi.  Ini berarti Tuhan masih percaya kepada manusia untuk bisa merawat dan memperbiki dunia ini.
    Pelajaran agama untuk anak-anak seringkali juga tidak realistis dengan menekankan hal-hal yang surgawi dan ilahi padahal tingkat perkembangan kognitif dan emosi anak belum sampai.  Lebih baik dimulai dengan belajar menghargai tubuhnya sendiri. Sebagai contoh, tidak cukup anak TK hanya menyanyikan “dua mata saya, hidung saya satu”, melainkan perlu menyadari “untuk apa mata dan hidung saya?” Atau, merasa bersyukur karena diberi mata dan hidung sehingga menyentuh ranah afektif dan mendorong untuk membentuk sikap positif terhadap tubuhynya sendiri dan kehidupan sekelilingnya.  Menerima, menghargai, dan mensyukuri apa yang ada dalam diri (tubuh) adalah awal bagi tumbuhnya sikap positif terhadap kehidupan.  Anak-anak juga belajar bahwa tubuh bukan untuk disakiti, melainkan diperlakukan penuh kasih saying.  Segala bentuk menyakiti tubuh orang lain seperti memukul, menendang, mencubit, dan sebagainya harus dilarang.  Setiap persoalan diselesaikan dengan dialog dan komunikasi, bukan dengan kekerasan.  Guru dan orangtua juga harus memberi contoh, tak ada hukuman yang menyakiti tubuh  apa pun alasannya.

Menghargai Lingkungan
   Menghargai kehidupan juga berarti menghargai kehidupan di luar dirinya sendiri, bahkan mencakup secara universal karena manusia bergantung pada kehidupan dan keberadaan yang lain. Ilmu pengetahuan alam memperlakukan alam sebagai obyek yang dianalisis dan dieksploitasi, bukan untuk dilestarikan melainkan untuk dikuasai.  Ini warisan aliran positivisme, pragmatism dan materialisme yang membuat manusia benar-benar mengambil jarak dengan alam.  Dampaknya sudah jelas sekarang, hutan habis ditebang, tambang habis dikeruk dari perut bumi, yang tersisa hanya bencana demi bencana.  Kehidupan di muka bumi dihantui fenomena pemanasan global.  Perlu perubahan orientasi pendidikan ilmu pengetahuan alam dengan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia bertanggungjawab menjaga keberlangsungan kehidupan di muka bumi dengan menghargai setiap bentuk kehidupan dan benda-benda alam yang lain.  Tumbuhnya kesadaran yang mendalam bahwa tanpa tumbuhan dan hewan tak ada kehidupan, tanpa udara dan air tak akan ada kehidupan.
    Setiap manusia sebenarnya memiliki perasaan welas asih yang menumbuhkan kepekaan terhadap hidup orang lain dalam bentuk rasa kasihan, simpati, dan empati.  Namun demikian, rasa welas asih ini bisa tumpul dan mati rasa jika tidak terus dipelihara, akibatnya menjadi bebal dan tega.  Anak-anak yang dibiasakan merawat tanaman, binatang, dan alam sekitar akan mempertajam rasa welas asihnya juga terhadap manusia lain. Kepekaan ini juga bia ditumbuhkan dengan melakukan kegiatan sosial, membantu korban bencana, atau anak lain yang kurang beruntung.  Selain itu, kegiatan di alam terbuka juga mengasahkan kepekaan anak akan nilai-nilai kehidupan.  Namun sayangnya, kebanyakan anak lebih suka asyik di rental game on line atau warnet daripada mendaki gunung, hiking atau trekking di alam bebas.
   Tindak kekerasan hanya bisa dilawan dengan menumbuhkan sikap pro kehidupan dalam segala bentuknya, khususnya sejak masa kanak-kanak.  Segala bentuk ideologi, termasuk keagamaan, yang tidak menghargai kehidupan yang penuh ragam di muka bumi dapat dipastikan bukan berasal dari Sang Pencipta, melainkan hanya tafsir sesatnya sendiri.  Orangtua atau sekolah harus berani tegas menolak masuknya ideologi semacam ini karena akan meracuni anak-anak.

Paul Subiyanto

Dr.Paulus Subiyanto,M.Hum --Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali ; Penulis buku dan artikel; Owner of Multi-Q School Bal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *