The Spirit of Giving dan Kul Sinangkul Ing Bot Repot

The Spirit of Giving dan Kul Sinangkul Ing Bot Repot

Handarbeni, Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani

Kebijakan atau kearifan lokal Rumangsa Handarbeni, Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani digelorakan oleh Pangeran Sambernyawa (Mangkunegara I) melawan kumpeni Belanda. Pangeran Sambernyawa membuat semboyan itu untuk membangkitkan semangat juang para prajurit, pejuang, dan rakyat. Efeknya, semangat terus berkobar, berjuang, dan mengusir kumpeni.

Rumangsa Handarbeni, Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani diurai sebagai berikut:

a. Rumangsa berarti merasa atau mempunyai perasaaan

b. Handarbeni dari kata darbe yang berarti memiliki

c. Melu berarti ikut, terlibat

d. Hangrungkebi berasal dari kata rungkep yang berarti (secara harafiah) tengkurap, konotatif membela atau berjuang.

e. Mulat berarti peduli, tanggap, paham

f. Sarira yang berarti badan.

g. Wani berarti berani.

Gabungan dari frase menjadi rumangsa handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani. Rumangsa handarbeni berarti merasa ikut memiliki (sense of belonging). Makna kepemilikan sangat bervariasi, antara lain: memiliki negara, bangsa, budaya, keluarga, anak, kekasih, harta, kepandaian. Pada saat semboyan tersebut tercetuskan, yang dimaksud merasa memiliki oleh Panageran Sambernyawa adalah memiliki tanah tumpah darah “bumi kelahiran‟ yaitu bumi Mataram. Pada zaman sekarang pengertian rumangsa handarbeni mengarah pada berbagai aspek kehidupan seperti di atas.

Kata tersebut memiliki arti merasa memiliki, ikut menjaga, dan merawat dengan rasa tanggung jawab. Maksud dari arti di atas adalah apabila kita menggunakan sesuatu apapun walaupun bersifat umum kita harus merasa memiliki, merasa memiliki. Di sini bukan berarti kita mengakui kalau sesuatu yang kita gunakan itu milik kita sendiri.  Dengan adanya rasa seperti itu maka dengan sendirinya akan timbul rasa ingin manjaga dan merawat fasilitas atau sesuatu yang digunakan dan pasti akan timbul perasaan tanggung jawab.

Contoh dalam kehidupan sehari-hari dalam kontek ini Paseduluran Brayat Minulya Nusantara. Kita seharusnya merasa bahwa PBMN adalah milik kita, dengan begitu pasti timbul rasa tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan hidup Paseduluran ini. Contoh yang lain yang mudah dipahami yaitu kita harus serius dalam melakukan pekerjaan apapun, merawat sarana pekerjaan dengan rasa ikhlas (tanpa pamrih).

Melu hangrungkebi berarti ikut membela, memperjuangkan, mengkaji, meneliti, dan mengembangkan kemajuan PBMN. Ketika diucapkan Pangeran Sambernyawa untuk membakar semangat juang mengusir penjajah, melu hangrukebi bermakna membela tanah tumpah darah bumi Mataram. Penjajah harus diusir agar tidak menyengsarakan rakyat. Di manapun dan kapan pun penjajah selalu membuat terjajah menjadi sengsara, miskin, dan bodoh. Oleh jarena itu kita tidak semestinya bersiap masa bodoh dengan kelangsungan hidup PBMN. Hidup-mati, merah-biru nya PMBN ada ditangan kita bersama. Maka mari kita saling menjaga semangat paseduluruhan sebagai roh pemersatu “balung pisah”.

Mulat sarira hangrasa wani berarti berani melihat dirinya sendiri dan beranimengakui (terutama) kekurangan sendiri. Ada pemeo, “Jika ingin maju jangan takut dikritik”. Kritikan merupakan cambuk untuk maju menuju kesuksesan. Introspeksi merupakan hal penting dalam hal kehidupan. Ketika diucapkan oleh Pangeran Sambernyawa, mulat sarira hangrasa wani mengandung maksud agarpara prajurit, pejuang, dan rakyat memahami potensi dan kemampuan diri. Musuh memiliki peralatan modern sedangkan pejuang Mataram menggunakan senjata tradisional, seperti keris, tumbak, pedang, panah, dan tumbak. Dengan memahami potensi diri dan melihat potensi musuh, maka pejuang dapat lebih berhati-hati, penuh perhitungan, dan dengan berbagai strategi. Dalam konteks PBMN kiranya baik kita membuat analisis SWOT untuk menjaga kelangsungan hidup PBMN.

Pada dimensi lain, pada zaman sekarang pemahaman potensi diri mulat sarira hangra wani sering disebut evaluasi diri, mawas diri (discerment). Dengan evaluasi diri, seseorang dapat memahami potensi dirinya, kelebihan dan kelemahan. Kelebihan sebagai modal untuk mengembangkan diri, kelemahan perlu dieliminasi agar tidak menjadi penghalang tindakan mencapai tujuan. Mengakui kekurangan diri memerlukan jiwa besar. Namun hanyalah orang-orang besar yang memiliki jiwa besar. Dengan kata lain, hanya orang-orang “besar” yang memiliki jiwa besar. Demi hidup bersama yang lebih baik marilah kita belajar mawas diri, saling terbuka dan saling memaafkan.

Tamu Nggawa Rejeki

Kearifan lokal pada umumnya tidak bermakna denotatif, lebih banyak yang bermakna kias, seperti tamu nggawa rejeki “tamu membawa rejeki‟. Kearifan lokaldemikian apabila dimaknai denotatif bahwa seorang tamu yang datang membawa rejeki seperti makanan, order, memberi pekerjaan, memberi proyek, dan sebagainya. Dapat terjadi demikian, memang tamu membawa rejeki secara material. Namun orang Jawa tidak sedangkal itu. Secara siklus, tamu yang datang bertujuan silaturahmi (menyambung kasih sayang). Di sisi lain orang yang silaturahmi (bertamu) ibarat saudara. Barang siapa yang banyak bersaudara akan diberi anugerah rejeki berlimpah oleh Tuhan. Jadi dalam bertamu terkandung makna menyambung tali kasih sayang, menyambung relasi bisnis, dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan atau poyek. Dalam konteks ini maka semangat ‘paseduluran‘ mendapatkan tempatnya.

Dalam bahasa Jawa tamu nggawa rejeki artinya adalah setiap orang jika ia selalu berbuat baik, maka akan banyak tamu yang datang walaupun hanya sekedar untuk silaturahmi bahkan kebanyakan orang jika sudah mempunyai nilai keakraban yang lebih, maka tidak akan segan-segan untuk menganggap ia sebagai saudaranya sendiri. Jika demikian orang yang dikunjungi akan mendapat rejeki yaitu berupa teman dan saudara sendiri yang semakin lama akan bertambah banyak. Sehingga mereka dapat kita jadikan sebagai pertolongan di saat kita dalam keadaan yang tidak memungkinkan atau orang Jawa mengatakan sempulur rejekine.

Misalnya, gerakan peduli Covid-19 yang selama ini dikembangkan oleh PBMN, merupakan bentuk konkrit solidaritas paseduluran. Rasa persaudaraan yang sudah dibangun tidak akan hilang sampai anak cucu kita kelak. Selama kita banyak memiliki hubungan yang baik dengan saudara, maka cepat atau lambat rejeki kita tidak akan kemana.

Oleh karenanya Ngumpulke Balung Pisah dan membangun semangat ‘paseduluran’, dengan mengembangkan “The Spirit of Giving” dan semangat “Kul Sinangkul Ing Bot Repot” sudah selayaknya kita tumbuh kembangkan di setiap insan Paseduluran Brayat Minulya Nusantara. (Drs. Damianus Nursih Martadi, M.Si)

M. Unggul Prabowo

Penulis lepas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *