Banjir Tanpa Nyinyir
Setiap musim hujan Jakarta banjir dan itu “bukan berita” karena selalu begitu siapa pun Gubernurnya. Setiap banjir, alih- alih mencari solusi, sampah nyinyir pun ikut hanyut mengotori lini masa medsos. Yang nyinyir puas karena mendapat kambing hitam untuk “disate” sementara yang dinyinyiri pun berdalih hujan itu ” kehendak ilahi” maka solusinya harus banyak berdoa. Kali ini banjir sudah sampai Kalimantan, kawasan dengan sungai- sungai besar dan hutan belantara,yang secara ekologis mestinya tidak banjir. Ini juga tak luput dari Si Raja Nyinyir, Fadli Zon,biang kaum “salawi” (semua salah Jokowi).
Memang banjir juga ditentukan oleh faktor penggelolaan air yang dilakukan manusia (pejabat publik), tetapi ada faktor yang di luar kontrol dan bersifaf global, yakni climate change dan global warming. Negara-negara seperti Belanda, Jerman,Belgia kali ini tak luput dari banjir. Mereka kurang apa dalam hal tata kota dan pengelolaan air?
Sejak revolusi industri kenaikan rata- rata suhu planet bumi sekarang 1,2 C yang disumbang terutama oleh penggunaan bahan bakar fosil secara masif untuk transportasi, industri dan rumahtangga. Kalau kondisi ini tidak diatasi dan bumi semakin memanas maka bencana dahsyat akan terjadi, banjir di mana- mana di satu sisi tapi kekeringan dan gelombang panas di belahan lain akan terjadi. Tempat-tempat tertentu akan tenggelam,kawasan pertanian berubah jadi gurun, gagal panen dan kelaparan semakin meluas. Negara- negara miskin semakin parah karena mereka tidak punya uang untuk beradaptasi dan mengantisipasi.
Siapa yang salah atas ancaman ” akhir jaman” ini? Silahkan yang tidak punya salah lempar batu pertama, silahkan nyinyir senyinyirnya! Apakah ada di antara kita yang tidak punya sepeda motor atau mobil? Apakah ada yang tidak bepergian dengan bus, kereta api atau pesawat terbang? Apakah di dapur tidak ada kompor gas?
Kita semua ikut andil menciptakan bencana akibat climate change karena setiap hari kita menggunakan bahan bakar fosil. Masih mau nyinyir?