Apa Salah Sesajen?
Apa Salah Sesajen?
Masih cukup hangat pembicaraan mengenai ditendangnya sesajen oleh relawan bencana Semeru. Tuntutan untuk menindak pelaku dengan asumsi pelecehan dan penistaan agama-kepercayaan menemukan momentumnya, ketika ada seorang politikus kena tahanan karena tudingan penistaan agama.
Masih akan sama saja, meterai selesai, seperti Fahmi Herbal, yang ada pada satu barisan. Simalakama, karena pemerintah akan dituding kriminalisasi ulama, dan antiagama. Fakta tidak demikian, toh Jusuf Kalla, dua kali wapres saja memainkan narasi ini, ia menuding buzzer tukang caci maki. Ia lupa atau tuli, bahwa banyak pegiat agama juga lebih kasar caciannya dari para buzzer.
Apa salah sesajen sih?
Menarik, jika karena sesajen itu melanggar hukum agama tertentu, apakah si pelaku juga sudah menendang maling anggaran, seperti yang sedanga da di LP-LP itu? Ataukah maling uang negra sudah “boleh” dilakukan dari pada sekadar sesajen yang uangnya dari uang sendiri, tidak nyolong.
Hayo, maksiat mana, sesajen atau nyolong? Jangan-jangan membedakan saja belum paham? Padahal sekedah itu sekadar ucapan syukur, sama juga dengan angpao kalau ada Imlek, atau sumbangan kalau khitanan, mantenan, dan ada teman kita memiliki momongan. Sekadar ucapan syukur.
Lha kan ngaco kalau ungkapan terima kasih saja dipersalahkan, sedangkan maling, pemerkosa muridnya malah dibiarkan begitu saja. Apakah pelaku juga sudah menendang Hery Setyawan yang sudah membuntingni muridnya dan menjadikannya bahan mencari donasi? Mosok sih lebih bermartabat pemerkosa dan pembunting muridnya sendiri daripada sesajen?
Jika mau kritis dan berpikir lebih jernih, menendang sesajen malah menistakan berkat Tuhan. Apa yang ada di sana itu rezeki dari Tuhan lho. Coba apa bisa si pelaku itu membuat kembang, atau dupa? Jangan sok-sokan tapi sebenarnya malah menistakan yang lebih gede.
Sepakat dengan seorang ulama modern yang mengatakan, melihat salib imannya rontok, melihat sesajen, imannya goyah, mendengar lonceng imannya goncang. Itu iman atau halimun sih?
Syukur bahwa Yesus mengajarkan bahwa Ia datang untuk menggenapi hukum Taurat, bahkan tidak ada yang berhak menghilangkan seiota pun dari padanya. Ini mau menggambarkan yang datang duluan itu perlu disempurnakan, bukan ditiadakan.
Kemudian hadir bukan merasa diri lebih benar, baik, dan superior, ketika perilaku dan perihiduonya bar-bar, arogan, dan merasa diri paling segalanya. Apakah demikian esensi beriman yang mendalam? Apakah tidak lebih tepat ilmu padi, semakin merunduk jika berisi, semakin rendah hati, selalu belajar, dan bertekun dalam rendah hati.
Jadi Ingat, tadi pagi ada tetangga, dulu ada kawan yang menyapa saya ditegur, mengapa menyapa, karena saya Katolik. Kini malah sering banget ngobrol dan datang sengaja sekadar berbincang. Ketika bapak meninggal, orang ini yang menepuk saya untuk kembali tegar sebagaimana waktu sebelumnya.
Jika berbeda dalam agama, paling tidak sama dalam ciptaan. Membesar-besarkan perbedaan ya sama juga menciptakan permusuhan. Di dunia ini penuh perbedaan dan tugas kitalah menemukan titik kesamaan itu.
Mengapa masih ada orang seperti itu? Yang tidak bisa tidak mengganggu orang lain dan merasa paling benar..
karena selalu merasa ter, padahal miinder dan tidak berani melihat hal yang berbeda
salam JMJ
Sesaji=sesajen=sajian
Yang membuat saja iklhas memberi. Burung atau hewan lain juga bebas memakannya, kok ada yang tidak rela. Hehe..
namanya juga kadal, yang gak bisa melihat adanya perbedaan,
salam JMJ