Aib Bukan KDRT, pun Sebaliknya
Menarik apa yang menjadi polemik ahir-akhir ini, mengenai ceramah agama, kalau KDRT itu aib yang tidak perlu diberitahukan, bahkan pada orang tua pelaku. Mertua korban saja tidak perlu diberi tahu. Tentu saja artikel ini tidak bicara mengenai agama dan ceramahnya, namun mau menelaah aib dan KDRT.
Aib
Menurut KBBI aib itu sesuatu jika itu dikhabarkan pada pihak lain, pelaku menjadi malu. Terminologi ini dulu yang kudu disepakati. Artinya, hanya ketika publik tahu menjadi malu, tidak ada kerugian materi ataupun mental. Hanya malu, berbeda dengan kekerasan yang menyakiti fisik dan psikis.
Contoh aib itu seperti ini. Ada bapak-bapak tidak bisu tidur kalau tidak berselimutkan sarung yang sudah bulukan, kumal, dan tidak karu-karuan. Tentu ada alasan atau memori di balik itu. misalnya kenangan bersama bapak atau karena suatu hal.
Anak tidak bisa tidur kalau tidak memeluk guling masa kecilnya. Ini pernah saya temui. Diolok teman satu kelas pun tidak ambil pusing. Tentu saja ia malu pada awalnya. Sama juga dengan mak-mak yang suka daster kumal yang dipakai setiap waktu. Nyaman, adem, dan sebagainya dalih yang dikemukakan. Mereka tentu malu kalau dilihat orang yang mereka hormati.
Konsumsi privat, domestik, dan tidak ada unsur pidana, karena ini hanya sebuah kebiasaan kecil, tidak buruk juga. Artinya, toh jika perilaku, kebiasaan, atau keberadaan itu ketahuan orang luar juga tidak ada tindakan apapun, selain malu dan sebentar diperolok. Malu itu juga tidak akan lama, hanya sesaat.
KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga. Ini ada pelaku dan korban, bisa juga ada luka baik badaniah atau psikisnya. Contoh memukuli pasangan atau anak karena melakukan keteledoran, atau hanya karena perasaan tidak suka semata. Luka karena pukulan, menyisakan juga sakit hati dan bisa menjadi dendam, penakut, atau hal-hal buruk lainnya.
Dampaknya ada dan itu kadang tidak mudah untuk diatasi. Sangat berbeda dengan aib, yang bisa juga sih membuat terluka, namun malah biasanya memperkembangkan diri menjadi lebih baik. Tidak lagi tergantung misalnya.
KDRT juga ada pasal hukum positif yang mengatur, jika melanggar itu bisa mendapatkan hukuman pidana, bisa dilaporkan polisi dan berujung pada bui, atau penjara.
Pemilihan terminologi saja masih kacau. Bagaimana bisa menjadi pengajar kasihan yang diajar kalau demikian. Perlunya sertifikasi penceramah menjadi penting, apalagi ketika sudah berkelindan dengan ideologi dan politik.
Mantap, aktual.
Salam hangat š
nuwun
salam JMJ
Itu penceramah politik koq ya? Bukan penceramah pendidikan keluarga apalagi moralitas agama… Kacau ya?
campur aduk, latar belakangnya juga gak selaras, he..he he
salam JMJ