Potensi Masalah Pastor Menikah
Tanggapan artikel terdahulu cukup marak, di media sosial. Beragam tanggapan, namun dominan mendukung tetap pada pilihan selibater. Jelas bahwa yang berkomentar dan menanggapi semua bukan kaum selibat.
Ini adalah salah satu kekuatan Gereja Katolik Roma. Kedisplinan dan penyerahan diri total yang tidak mudah memang. Apalagi di tengah gencarnya dunia dengan segala kemewahan dan keindahannya. Kesepian sebagai salah satu alasan Kardinal dari Jerman, layak dicermati sebagai berikut
Jika menikah untuk menghindarkan kesepian, potensi masalah berikutnya adalah, bagaimana jika keluarga itu retak atau mau bercerai. Padahal umat saja yang menikah betapa sulitnya mengurus anulasi, perceraian. Cek saja di sekitar masing-masing.
Keteladanan. Bagaimana jika pastor menikah gagal dalam menciptakan keluarga yang harmonis, bisa menjadi contoh. Sudah berlimpah contoh kasus kegagalan jadi imam dan juga berumah tangga sekaligus.
Politik praktis dilarang oleh Vatikan dengan salah satu alasannya, jangan sampai nanti pilihan imamnya salah dan membuat umat juga ikut tersesat. Hal ini layak juga menjadi bahan pertimbangan. Berkeluarga itu tidak mudah, tidak sekadar hubungan seksual, atau mengatasi kesepian.
Berkaitan dengan bahasan di atas, bagaimana memenuhi kebutuhan finansial. Masalah klasik itu pelayanan. Imam atau pastor jarang mengunjungi umat dengan alasan sibuk. Apalagi punya keluarga. Lebih sibuk lagi.
Pun masalah klasik yang tidak kalah pelik. Skandal keuangan Gereja, mau imam, mau uskup, atau awamnya, toh itu masalah. Pastor tidak menikah saja banyak uang melayang, bagaimana jika menikah?
Gaya hidup. pedoman Keuskupan Agung Semaarang, mobil pastor itu sekelas kijang, entah yang sekarang, demi sama dengan umat. Tidak meninggalkan keberadaan umat yang standart dengan kendaraan itu. Nah, jika berkeluarga, yakin pemimpin tarekat atau uskup bisa mengatur ketaatan seperti ini?
Kehidupan Gereja selama ini ditopang oleh umat, apakah iya umat akan rela jika itu digunakan untuk membeayai keluarga si pastor, dan kemudian ndilalah, anak-anaknya songong. Tidak bisa membayangkan.
Tentu artikel ini tak hendak berpikir mengenai masalah atau halangan. Antisipasi bahwa hal yang terburuk juga perlu menjadi pertimbangan karena toh begitu banyak juga masalah di dalam hidup berkeluarga.