Pendidikan Merdeka
Bicara pendidikan memang tidak akan pernah selesai, karena menyangkut orang dengan segala keberadaanya. Salah satunya adalah yang menyangkut label bodoh dan pintar. Di sinilah yang perlu kesadaran bersama, bagaimana pemahaman mengenai pendidikan itu sudah satu suara.
Selama ini yang terjadi adalah klasikal dengan kurikulum drop-dropan dari kementrian. Padahal Indonesia ini begitu beragam dalam banyak aspek, salah satunya kemajuan dan kemampuan pendidikan.
Jangan berfikir Jawa itu Jakarta, Surabaya, atau Jogjakarta, namun juga ada Karimunjawa, Madura, atau Kep. Seribu, itu ada dispatitas. Belum lagi jika bicara luar Jawa. Papua lain dengan Sumatera. Aceh saja sudah berbeda dengan Palembang.
Salah satu penemuan praktisi dalam dunia pendidikan, mengatakan, Idealnya dalam mendidik harus persuasif berdasarkan karakteristik masing-masing peserta didik. Karena setiap orang itu unik, jadi harusnya tidak digebyah uyah. Makanya ada peserta didik yang menonjol dan “kurang” menonjol. Yang kurang menonjol ini sebenarnya tidak bodoh, tapi karena transfer of knowledge- nya tidak matching dengan mentor nya.
Kesimpulannya, kalau ada peserta didik yang ketinggalan dari yang lain, yang bodoh bukan peserta didik nya tapi mentornya. Karena mentornya tidak bisa mentransfer knowledge-nya ke peserta didik.
itu bukan berdasarkan teori, tapi dari pengalaman lapangan.
Dulu sering mengadakan training mekanik untuk bengkel motor. Peserta sangat bervariasi, perbedaan latarbelakang yang sangat jauh berbeda, baik itu dari usia, pendidikan formal, pengalaman kerja, skillnya, dll.
Sasarannya harus bisa transfer teknologi, bagaimanapun caranya. Hal yang sama seharusnya juga terjadi di kelas sekolah. Tidak semua anak suka matematika, atau olah raga. Faktanya, di sini, negeri ini, semua dipaksakan sama.
Tidak heran mudah terjadi kekerasan di sekolah guru dan murid sama-sama stres menghadapi tuntutan kurikulum, yang belum tentu selaras dengan kemampuan dan minat siswa. Pelampiasan sangat mungkin berupa kenakalan remaja dan berujung pada kekerasan. Ada sumbatan yang perlu kesadaran bersama untuk dijadikan bahan evaluasi.
Pendidikan sudah seharusnya memerdekakan, bukan malah membelenggu. Siswa dan tenaga kependidikan idealnya bahagia bukan malah berduka.
Kolaborasi Nursih dan Bagio,St.
Pendidikan memang bukan masalah bodoh dan pintar, tetapi bagaimana pendidikan itu bisa membekali dan memandirikan siswa kelak. Menjadi berdaya minimal untuk diri sendiri seharusnya menjadi visi dan misi pendidikan seutuhnya. Terima kasih artikelnya.
setuju
sebagian pihak dan itu kadang elit masih melihat pindah bodoh semata
salam JMJ