(5) Reuni Novis MSF 1984/85 : Kapel Tempat Berkeluh

(5) Reuni Novis MSF 1984/85 : Kapel Tempat Berkeluh

Ini catatan terakhir Ansgarius Hari Padma Wijaya tentang sharing sedulur dalam reuni novis MSF angkatan 1984/85 di Biara Kana, Salatiga, awal September 2022.

Yulius Hari Widodo mengenang rentang waktu 1984-2022. Bersyukur masih diperkenankan menginjakkan kaki di wisma yang sama setelah 38 tahun kutinggalkan. Bersyukur masih diperkenankan berjumpa dengan beberapa konfrater yang sama sekali belum pernah bertemu. Rasanya luar biasa.

Namun sayang sekali. Aku tidak bisa menemukan kapel pojok tempatku bergelut dengan panggilanku.  Berhari hari krisis panggilan kusembunyikan rapat-rapat dari para konfrater dan hanya kapel itu tempatku mencurahkan segala keluh-kesah dan tangisku dalam kesendirian.

Dengan bimbingan Romo Sing akhirnya bulat keputusanku untuk meninggalkan biara dan konfrater semua. Beberapa tahun aku sempat tidak berani pulang kampung di stasi asalku Gundi Grobogan karena mereka masih memanggiku frater. Di Luar biara aku mengalami disorientasi –kehilangan arah masa depan yang sebelumnya tergambar jelas– pergulatan hidup sesungguhnya baru kurasakan. 

Satu hal yang masih kuingat adalah ketika aku pamitan pulang setelah makan pagi. Tak berani kutatap wajah para konfrater. Setelah itu duniaku terputus dengan berbagai hal yang berbau para kudus sampai akhirnya aku ditemukan oleh Singgih.

Pertemuanku dengan Singgih membuka pintu kesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawan lainnya baik dari merto maupun salatiga. Pertemuan yang membuka kembali lembaran-lembaran lama tentang cerita suka duka dan kekonyolan bersama.

Kisah kembalinya ‘anak hilang’ tak kualami berlama-lama, karena pada tahun 2003 aku ‘dialumnuskan’ dari tempat kerjaku yang konon bernafaskan kasih, setelah 14 tahun lebih aku menghabiskan waktuku di situ. Rasa marah, kecewa, putus asa dan seribu satu rasa lainnya tidak menjadikanku nyebrang pagar ke tetangga sebelah. Keinginan nyebrang untuk balas dendam ini sempat terbersit di kelebat liar otakku kala itu. Dan syukurlah sampai saat ini aku masih katolik dengan segala keterbatasanku. Hehehehe….

Kehilangan pekerjaan menjadikan penghasilanku tidak hanya berkurang satu atau dua nol di belakang bahkan minuspun bukan hal yang asing kualami. Sering aku merasa kelaralara ketika anak wedokku (3 tahun) minta ice cream dan dengan lugunya dia menirukan jawabanku ‘nanti kalau ayah punya uang’

Singkat cerita, 2005 aku bekerja di politeknik swasta yang berubah status menjadi negeri tahun 2013. Sampai sekarang aku masih bekerja di sana dan sedikit banyak suaraku masih didengar. blessing in disguise. Seandainya aku di tempat lama aku pasti sudah pensiun.

Sembari ngancani Singgih nyopir aku sempat termenung. cerita hidup yang kualami tidak sebanding dengan sharing Mo Fajar. Bagiku sharing itu sungguh menguatkanku, membantu menghapus luka lama untuk mampu berdamai dengan diriku. Pada saat aku, istri dan anak anakku terpuruk ternyata Tuhan masih mencintai. Dia sungguh berkarya melalui banyak tangan orang-orang baik. Suatu peristiwa iman yang tidak bakalan kulupakan. Masa survival ini bisa kulewati mungkin karena aku dulu pernah bercita-cita menjadi missionaris emesef (meski aku hanya sempat mencicipi biara dalam hitungan beberapa bulan saja) hehehehehe….

Ansgarius Hari Padma Wijaya mengungkapkan, “Pertemuan ini sudah mulai diwacanakan secara serius sejak tanggal 13 Juli 2022 setelah Br. Thomas Kumara berpulang menghadap Bapa di surga.”

Mas Kartono, mas Bi mengenang pengalaman mereka Bersama Br. Thomas ketika kami tinggal di Novisiat Salatiga. Pengalaman manis itu menimbulkan dorongan pada Koh Hendry untuk mengadakan reuni di Novisiat Salatiga yang saat ini namanya sudah berubah menjadi Wisma Kana. Fungsinya menjadi rumah Retret.  Letaknya di Jl. Muwardi 27 Salatiga bukan nomor 13 lagi. Mas Bi meresponsnya kapan saja dilaksanakan siap hadir.

Dorongan yang tercetus ini, ibarat api dari kecil menjadi samakin membesar. Dari tanggapan Mas Siswantoro, mas Kartono. Mas Tinus. Ditawarkanlah hari pertemuan tanggal 20/21 atau 27/28 Agustus 2022. Dari 14 orang yang sudah menanggapi untuk pertemuan pada tanggal itu baru 4 orang. Akan ditunggu setidaknya 1×24 jam untuk mendapat respons dari lebih banyak anggota lainnya. Saya memberikan respon pada nomor urut yang ke 5. Kemudian ditawarkan kepada mas Singgih dan Mas Harwid yang tinggal di Madiun. Koh Hendry mengintip dalam grup semua anggota sudah membaca tetapi belum merespons. Mas Tinus memastikan tanggal itu kepada Rm. Rinoto MSF sebagai otoritas yang mbau rekso Wisma Kana. Apakah bisa menggunakan Wisma Kana untuk melakukan Reuni pada tanggal itu? Akhirnya rencana waktu bergeser ke tanggal 3-4 September 2022.

Rm. Fajar menginisiasi untuk melakukan pertemuan zoom meeting sebagai persiapan reuni seperti tanggal yang ditetapkan. Pertemuan dilakukan tanggal 26 Agustus 2022 pukul 19.00 WIB – selesai. Walaupun yang hadir dalam zoom meeting hanya 7 orang. Mas Sis, Mas Bi, Mas Ton, Mas Harwid, Koh Hendry, Rm. Fajar dan Saya. Diharapkan 12 orang dapat hadir dalam pertemuan tanggal 3-4 September 2022 yang akan datang. Mas Tinus dan Mas Chris tidak dapat masuk dalam jaringan zoom. Mas Tardi dari Cisarua terlambat masuk dalam zoom karena baru pulang dari kondangan. Meeting sudah selesai. Resume hasil meeting ditulis oleh mas Sis dan dishare dalam grup. Tidak bertele tele. Acara yang akan digelar sederhana saja.

Detil teknis keberangkatan ke Wisma Kana direncanakan masing masing. Bagaimana kendaraan ke Salatiga, menggunakan kereta atau travel atau bus. Bahkan juga keberangkatan ke Propinsialat Jl. Guntur Semarang untuk bertemu dengan Rm. Tan Thian Sing MSF yang dulu magister kami juga sudah direncanakan. Mas Harwid dan Singgih sudah memberikan jalan alternatif untuk hal itu.

Tanggal 23 Agustus 2022 mas Teguh memberikan respon positif bahwa akhirnya dia dapat juga hadir pada kesempatan itu. Lengkap sudah harapan kami untuk bertemu – bersilaturahmi – bereuni di tanggal 3-4 September 2022 di Wisma Kana Salatiga. Ada 12 orang yang akan hadir. Rm. Tjoek tidak dapat hadir karena memberi retret kepada umat di Tayu. Sedang Rm. Timo memiliki agenda rapat dengan Komisi Keluarga di Keuskupan Malang pada waktu yang sama.

Saya sendiri merasa karena karya Tuhan yang hidup dalam sanubari kami masing masing, dalam bentuk kerinduan untuk bertemu di Wisma Kana, eks Novisiat kami di tahun 1984/85.  Menjadi nyata terwujud. Rumah ini lah yang menyatukan kami. Baik dulu maupun sekarang.

Khusus dalam diri saya muncul rasa bahwa ternyata saya memiliki saudara yang banyak. Saudara yang turut merasakan suka dan duka, bahagia dan menderita. Karena pernah mengalami satu rumah satu bakul nasi, satu perjuangan yang sama dalam menyusuri panggilan Tuhan. Walaupun hasil akhir dari panggilan kami berbeda beda. Tidak semua menjadi imam sebagaimana diawal dicita citakan. Namun kami akhirnya sadar betul bahwa panggilan Tuhan untuk kami masing masing sudah terjadi seperti ini. Tetapi tidak semuanya tidak berkesan. Memang ada saatnya kami seperti masuk dalam kegelapan. Tetapi kami semua meyakini, bahwa dalam perjuangan kami. Kami tidak pernah sendiri. Tuhan selalu memberikan jalan dan memberikan bimbingan ke arah mana kami harus mengikuti jejakNya.Tidak ada yang tidak berjuang. Baik yang menjadi imam maupun yang menjadi bapak bapak.

Kekurangan fisik materi tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menikmati kebahagiaan kami. Sharing yang terjadi pada malam tanggal 3 September 2022 kami rasakan sebagai energi baru untuk terus melanjutkan peziarahan kami dengan jalan panggilan kami masing masing dengan gembira hati.

Langkah terakhir sebelum kami berpisah kami disambut oleh Provisial Romo Sumargo MSF di Provinsialat Jl. Guntur 20 Semarang dengan ramah dan gembira membuat kami masih merasa sebagai bagian dari Keluarga Besar Konggregasi MSF. Kendatipun kami sudah 38 tahun meninggalkan Novisiat Salatiga. Inilah pengalaman yang dapat kami petik setelah bereuni di Novisiat yang menetaskan kami menjadi calon imam yang berhasil menjadi imam atau bapak bapak keluarga sebagaimana saat ini.

Setelah berpisah di Semarang kami masih memantau pergerakan perjalanan kami pulang ke rumah masing masing. Sampai terakhir perjalanan mas Tardi dari Colomadu ke Cisarua tanggal 7 September 2022. Sekarang Grup WA Komunitas Muwardi menjadi lebih ramai dibanding waktu waktu sebelum terjadinya reuni. Mas Singgih menjadi aktif kembali. Nomor HP romo Timo dimasukkan dalam grup agar dapat saling berkontak meskipun via mbak Maya. Romo Timo merespons: “Oh, mas Cecep boleh aza cuman aku tidak mudeng kalau Bahasa komunikasi Bahasa jawa. Mohon maaf”. Mas Ton menimpali:“Pesannya jelas, usahakan berbahasa Indonesia di Grup ini, karena ada yang tidak bisa berbahasa Jawa. Tetapi mas Sis sebagai koordinator menulis:“Kalau ternyata nggak kebaca (karena bahasa) ya nggak usah dikomentari Mo. Santai aja. Yang bisa dibaca saja yang dikomentari. Jawab Rm. Timo: Inggih mas Kartono dan mas Cecep. Mas Tono komentar: Lha Romo Timo malah inggih. Siap romo…

Agustinus Sukarno menuliskan lirik lagu Tatu ciptaan Didi Kempot.

Tinus merasa, betapa pentingnya Reuni Novis MSF 1984-1985. Gagasan reuni muncul ketika mengikuti Temu PBM Nasional di Biara Kana sekitar tahun 2010 yang lalu. Dalam acara temu itu beberapa eks Novis 1984/85 seperti: Teguh, Tono, Tinus, Singgih hadir dengan cirikhasnya masing-masing. Hanya sepintas sambil guyonan saya sampaikan ke teman-teman tadi soal perlunya kita bereuni. Mereka pun sepertinya tidak merespon dengan sungguh-sungguh guyonan ini.

Sesudah peristiwa temu PBM itu lewat kontak dunia maya tetap intens kami lakukan dan dengung-dengungkan, sehingga akhirnya muncullah wacana dari beberapa teman secara diaspora perlunya Reuni Novis MSF 1984/1985 di Wisma Betlehem (Biara Kana), Jl. Dr. Muwardi Salatiga. Setiap kata reuni diangkat dalam obrolan di dunia maya group ini, nada yang muncul seringnya justru memojokkan dan menyuburkan rasa pesimisku. Tetapi sebagai orang yang masih memiliki kekuatan iman dan tempat berlari serta berkeluh kesah, di saat bersimpuh di hadirat-Nya terucaplah doaku “Kawula menika abdinipun Pangéran. Sedaya wau kelampahana tumraping kawula, kados ingkang Panjenengan ngandikakaken menika.” (Luk 1:38). Gusti kula pasrah lan ndherek sakersa Dalem. Akhirnya aku hanya menunggu dan mengikuti perkembangan gerak dari teman-teman.

Di sinilah saya semakin yakin akan kuasa dan kekuatan doa yang luar biasa, ketika hampir semua teman eks novis 1984/1985 menyatakan OKE BEREUNI DI BIARA KANA SALATIGA pada tanggal 3 dan 4 September 2022.

Segera kujapri Lik Siswantoro untuk menjadi koordinator dan berbagi tugas. Segera kudatangi Biara Kana menemui Rm. Ari Purnawan MSF yang mbahurekso. Ketika kusampaikan maksudku jawaban beliau membuatku down dan pesimis. “Maaf pak empat bulan kedepan tempat ini sudah diboking beberapa komunitas biara untuk retret, rapat depimprop dan penyegaran anggota!”   Dalam kondisi lemes dengan sisa-sisa tenaga kurayu Rm. Ari untuk berkenan ndheselke rencana reuni kami. “Romo, kami hanya memakai hari Sabtu dan Minggu tgl 3 dan 4 September 2022 saja mo! Mosok gak bisa sama sekali? Teman-teman kami nyebar sak pulau Jawa dan Bali sehingga karena kesibukan dan jauhnya sulit kami kumpulkan. Kasihanilah Mo!” rengekku.  Akhirnya Rm. Ari mengambil agendanya dan dengan penanya menyusuri kalender Bulan September yang dipasang di ruang tamu. Lalu dengan senyum khas nya beliau berkata, “Inggih pak Tinus saget, di tanggal 3 dan 4 September. Namung dengan catatan hari Minggunya sebelum jam 12.00 acara harus sudah selesai. Maaf karena karyawan kami tidak banyak, sementara di jam 16.00 nya tamu baru sudah datang.

Rasa syukur dan senang tak terkira, dari 14 konfrater hanya 2 orang yang tidak bisa bergabung dalam reuni ini. Saking rindu dan asyiknya ngobrol kangen-kangenan sampai keinginan mengulang tradisi novisiat dengan Ibadat Sore, Completorium dan meditasi di kapel tidak terlaksana.

Menyadari usia, ternyata kemampuanku mendengar sharing teman sudah tidak sepeka dulu. Mungkin juga dampak kecapekan sedari pagi mengajar di sekolah langsung ke Biara Kana. Karena mereka sharing dengan tetap menggunakan masker, sehingga bahasa mimik mereka tidak bisa aku baca? Juga tidak dibantu dengan mikrofon. Tetapi tidak apalah. Beberapa masih bisa saya simak dan membuat saya bersyukur, prihatin dan memberi acungan jempol kepada beberapa teman yang sharingnya sangat menyentuhku. Khususnya dalam proses menghadapi dan mengatasi tantangan menemukan jati diri dan kehendak atau panggilan Allah. Ternyata yang tetap diijinkan dan setia dalam tarekat MSF pun (Romo Fajar) juga tidak lepas dari salib berat dalam karya dan pelayanannya serta masih ditempa dan dituntut rela melepaskan sebagaian besar anggota keluarga yang sangat dicintainya untuk mendahuluinya menghadap Sang Khalik. Sehingga saat ini beliau tinggal berdua bersaudara. Lebih dari itu beliau juga masih dituntut untuk rela menjalani operasi organ tubuh pentingnya, yang pasti akan berdampak pada stamina dan daya tahan tubuhnya. Sungguh mendengar sharing beliau aku sempat trenyuh dan tak mampu berkata apa-apa.

Dari sekian novis 84/85 yang tidak bisa lanjut dan harus meninggalkan MSF ternyata hanya 4 orang yang langsung menempuh panggilan Allah melalui jalur pernikahan. Sementara yang lainnya masih bertekad berusaha menjawab panggilan Allah melalui jalur imamat di tarekat dan imam projo di beberapa keuskupan. Ada yang projo Kalimantan, ada yang projo Semarang, ada yang projo Bogor dan juga OCSO, dll.

Misa Minggu pagi bersama Rm. Fajar Himawan MSF. sepertinya tidak mampu membuat kami focus. Kerinduan yang terurai dalam acara sharing malam sebelumnya justru semakin merekatkan kehangatan di antara kami. Ketidakfokusan kami dalam misa pagi itu membuahkan lagu anamneses yang kami nyanyikan mletho. Syukur dan Puji Tuhan itu disadari bersama sehingga tidak ada saling menyalahkan, namun kami justru sesudah misa tertawa bersama mengingatnya. “Maaf Tuhan, kami semua tidak bertujuan menomorduakan Engkau. Itu semata karena perasaan yang membuat kami   seperti itu!”

Berita dan panggilan pembimbing di Biara Nazareth yang memberitahukan bahwa aku tidak bisa berlanjut, membawaku harus pergi meninggalkan Biara Nazareth dengan ditemani rasa campur aduk. Segera kuberitahu orang tua dan saudara-saudaraku dengan disambut deraian air mata. Saat itu kusampaikan kepada keluarga bahwa akan tetap berusaha meniti panggilan menuju imamat dengan akan melamar di Keuskupan Bogor.

Segera kukirim lamaran beserta Surat Rekomendasi dari Tarekat MSF ke Mgr. Geise OFM selaku uskup Keuskupan Bogor saat itu. Tidak menunggu lama kuterima surat panggilan untuk segara menghadap beliau di Wisma Keuskupan Bogor.  Pagi harinya langsung diajak naik mobil keuskupan bersama Mgr. Geise ke tempat TOR Imam Projo Bogor di Jl. Buah Batu Bandung. Di sini aku diperkenalkan dengan anggota komunitas Imam Projo Keuskupan Bogor dan Purwokerto yang tinggal di bawah satu atap asrama.

Disini aku mengalami kebangkitan, mereka semua menerimaku dengan sukacita, sehingga aku mudah menyesuaikan diri. Dalam asrama kami berkomunikasi banyak dengan bahasa Jawa, namun ketika di luar asrama saya harus ekstra keras memahami Bahasa Sunda, yang bagiku tidak mudah sebagai bahasa harian warga kota Bandung.

Selama menjalani TOR di Bandung hatiku berbunga-bunga dan kecewa yang diwariskan MSF segera bisa kulupakan.  Bagaimana tidak berbunga-bunga setiap hari ngonthel sepeda ke Aula Gereja Salib Suci, Jl. Kemuning 20 Bandung untuk bertemu dan berjuang bersama teman-teman TOR Projo Bandung, Projo Sintang, Projo Purwokerto, Frater2 Novis OSC, SMM (Monfortan), dan suster-suster aspiran dari Ursulin. Pokoknya meriah seperti halnya saat studi di Kentungan Yogya.

Waktu bergulir terus berganti tahun. Tibalah datangnya Pekan Suci. Berbekal pengalaman pernah asistensi saat di MSF, akupun dikirim menjadi misionaris local Keuskupan Bogor mulai Minggu Palma sampai dengan Minggu Paskah. Hanya ditemani tekat bersama Tuhan dan Bunda Maria kujalani sendirian asistensi di daerah yang sama sekali belum pernah kumengerti, yaitu di pedalaman tengah hutan, daerah Tambang Emas Cikotok Pandegelang, Paroki Rangkasbitung yang harus ditempuh dengan bus umum selama 10 jam dari kota Bogor. Sepanjang perjalanan diguyur hujan deras menyusuri pantai selatan dan kemudian belok kiri masuk ke tengah hutan. Ada banyak umat katolik di sana, yang berasal dari Jawa sehingga tidak kesulitan bagiku berkomunikasi dengan mereka. Seminggu berpekan suci di tengah hutan pada hari Minggu Paskah setelah ibadat sabda aku diantar tokoh umat dengan motor treilnya ke paroki Rangkasbitung bertemu dengan para konfrater Projo Bogor dan lalu kembali ke Bandung.

Setahun sudah kujalani TOR di Keuskupan Bogor. Tibalah kini saatnya mencapai status mahasiswa Filsafat Teologi di Unika Parahyangan Bandung. Akan tetapi ketika dipanggil untuk menghadap staf Perguruan Tinggi tersebut duniaku langsung gelap dan runtuh seketika. Pasalnya semua nilai yang telah dengan susah payah kudapat dari Kentungan dianggap tidak berlaku dan aku harus mengawali atau mengulang dari nol lagi. Sadar akan kemampuan akademisku yang pas-pasan dan harus mengulang dari nol, aku sempat syok. Dua hari kupertimbangkan di asrama membuahkan keputusan bahwa aku sebaiknya sadar diri, tidak memaksakan kehendak dan pulang tidak berlanjut.  Semoga ini keputusan terbaik untuk diriku.

Pagi hari sehabis misa dan sarapan aku berkemas, diwarnai aneka perasaan takut, khawatir dan pahit kutinggalkan asrama TOR Keuskupan Bogor di Bandung dengan segala kenangan tawa dan canda serta air mata. Malam sebelumnya tidak bisa tidur, harapanku di bus bisa tidur sepuasnya. Segera kugendong tas ranselku naik angkot menuju terminal Cicaheum Bandung. Lalu segera kunaiki bus jurusan Yogyakarta. Sengaja aku naik bus ekonomi siang hari melewati jalur selatan (yang kata banyak orang pemandangannya “geulis pisan”) dengan tujuan menuju rumah orangtuaku di Kulon Progo.

Ternyata harapanku bisa tidur di bus atau menikmati pemandangan alam di belahan selatan Jawa Barat selama perjalanan meleset. Di bus aku malah sibuk dengan hati dan pikiranku yang berdampak deraian air mata dan isakan bertubi-tubi datang. Untuk menghindari perhatian sesama penumpang bus sengaja wajah dan kepala aku kerudungi dengan jaket. Sepanjang perjalanan Bandung Sentolo aku hanya asyik dengan deraian air mata dan isak tangis. Saat masuk kota Wates aku bilang ke kondektur turun di pertigaan Ngeplang Sentolo.

Setelah 8 jam di atas bus dengan tetap kepala berkerudung jaket aku merasakan sentuhan seseorang di pundakku, “Mas, katanya mau turun di pertigaan Ngeplang Sentolo. Ini sudah hampir sampai tolong siap-siap”, kata kondektur. Segera kubersiap dengan merapikan rambut dan wajahku yang berantakan tak beraturan. Tak dinyana sudah ada bus Menoreh Indah yang ngetem di sisi kiri jalan arah Kalibawang.

Perjalanan minibus hampir sejam sampailah aku di rumah orangtuaku. Tanpa sepatah kata begitu melihat simbok menyambutku langsung kupeluk sambil aku menangis seperti anak kecil. Simbokku terkejut dengan kelakuanku saat itu. Biasanya kalau pulang dengan menebar senyum keceriaan sore itu datang dengan tangisan yang luar biasa. Aku dibimbingnya masuk rumah dan begitu reda isak tangis ini dengan ikut berurai air mata simbok memintaku untuk cerita apa yang kualami.   Begitu mendengar penuturanku simbok bisa memahami dan sekali lagi ia memelukku sambil berbisik supaya aku pasrah lan ndherek kersa Dalem Gusti saja. Akupun di sore itu langsung tidur pulas sambil menunggu bapak pulang dari cari rumput di sawah. Malam harinya aku merasa tenang karena simbok dan bapakku peduli dan memberi penghiburan serta petuah.

Seminggu aku di desa lalu aku pamit mau balik ngikut kakak nomer dua di Semarang. Di sana aku tetap merasa ada teman, karena setiap aku nongkrong di Gereja Atmodirono ada Romo Wignyo, Ada Romo Huneker, Romo Niko yang sudah akrab. Akupun aktif dalam Legio Mariae. Di sinilah teman Legio Mariae yang sudah jadi guru BK di salah satu SMP Swasta menawariku menjadi guru Agama Katolik di sekolahnya.

Di Atmodirono itu hidupku menjadi bangkit kembali dan ceria. Penerimaan para romo paroki membuat aku tidak terbesit dendam dengan MSF. Apalagi dengan kehadiran Frater TOPer Teguh Budiyanto MSF, kekonyolan dan banyolannya mampu membuat langit cerahku terbit. Dan tidak lama kemudian Romo Triatmoko MSF, Romo Tjoek Prasetyo MSF juga menjalani awal tugas pastoralnya di paroki tersebut. Membuat aku semakin bisa menerima keadaan dan mampu menerima diriku sebagaimana Tuhan kehendaki. Tuhan memberkati!

M. Unggul Prabowo

Penulis lepas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *