Penutupan Patung Bunda Maria dan Pengampunan, serta Hukum Negara

Penutupan Patung Bunda Maria dan Pengampunan, serta Hukum Negara

Penutupan Patung Bunda Maria, Pengampunan dan Hukum Positif

Sejatinya bukan semata penutupan patung Bunda Maria, ada pula di Palembang penolakan kedatangan Duta Besar Patikan, bukan Vatikan yang ditolak. Gereja sebagai anak-anak Tuhan jelas menganggap itu persoalan kecil. Selesai tidak perlu diperpanjang.

Pastor Vikep tempat kejadian mengatakan melalui pesan singkat dalam grup percakapan, hentikan di tangan panjenengan, tidak perlu menyebar lagi, sedang diselesaikan, tidak seperti yang dibayangkan. Kira-kira demikian. Di dalam    media percakapan juga banyak candaan, gak ada orang Katolik yang tersinggung ya, di, di grup lain mengatakan, orang Katolik, Gereja mesti takut menghadapi kasus seperti ini, biasa taat aturan, jadi malah diinjak-injak, dan sebagainya.

Wajar, Gereja Katolik itu hirarkhis, apapun dikatakan hirarkhi, semua diam. Tidak akan ada pergerakan apapun, maka dulu ada keyakinan, Roma bicara habis perkara. Benar terjadi. gejolak apapun akan dikembalikan bagaimana pastor paroki, uskup, bersikap. Di sini, pastor juga memiliki jajaran dari ketua lingkungan, ketua wilayah, dewan harian, dan seterusnya.

Berkaitan hal seperti ini, Gereja juga kudu bersikap. Pengampunan bukan berarti juga membebaskan dari jerat hukum positif negara. Ingat ada 100% Katolik 100% Indonesia. Selesaikan secara hukum negara juga penting.

Pembubaran ibadah memberikan bukti, ketika ada yang melawan dan membantah, mengatakan ada implikasi hukum, si pembubar juga mundur. Ini penting. Warga negara dilindungi UU bahkan UUD 1945 menjamin itu, jauh lebih tinggi derajat hirarkhi hukum. Apalagi hanya FKUB yang sangat lemah.

Pemberian efek jera itu juga bagian dari pengampunan. Benar kata Yesus mengampuni 7 x 70 kali. Hukum negara ada untuk mengatur tertib hidup bersama. Apalagi yang dihadapi tidakmemiliki sikap dan pandangan hidup pengampunan ala Yesus. Mereka cenderung menjadikan alasan, diam itu kalah dan bisa ditindas.

Hukum kasih sama sekali tidak bertentangan dengan hukum negara. Bisa menjadi teladan,   dalam membina hidup bersama agar lebih baik lagi. Pembiaran atas nama kasih juga keliru. Lihat apa yang Santo Yohanes Paulus II lakukan pada penembaknya? Pengampunan, juga penjara.

Sikap diam yang beralasan hukum kasih, membuat mereka merajalela, hukum positif juga sedang tumpul. Tidak layak Gereja juga terlibat dengan kerusakan hukum itu.

Tentu tidak dengan demo dan marah-marah, namun dengan menyatakan pendapat secara lugas dan keras juga penting. Ingat Surat Gembala Prapaskah 97, yang mengguncang Soeharto, orang terkuat saat itu. Suara kenabian  itu juga bagian dari tugas Gereja.

Bersuara, bukan hanya diam. Reaksi terukur, bukan reaktif.

Salam JMJ

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *