Inferiority Complex dan Sikap Toleransi

Inferiority Complex dan Sikap Toleransi

Menarik apa yang terjadi dalam penutupan patung Bunda Maria beberapa hari lalu. Polisi membuat laporan pada atasan pertama kali sangat gamblang menyebutkan mengapa terjadi aksi penutupan itu, termasuk latar belakangnya.

Berbeda ketika mulai ramai dan kemudian viral, ada upaya membetulkan, yang menutup si pemilik, pengelola, polisi hanya mengawasi, mengontrol, dan ada di sana. Tidak ada kehendak atau pemaksaan oleh ormas.

Ada implikasi serius jika demikian,

Pertama, laporan kepada atasan, Kapolres itu salah, keliru, atau malah kebohongan? Ini sangat serius lho, laporan lapangan yang tidak sesuai kenyataan, kebohongan pada atasan, atau rekayasa yang seharusnya berimplikasi hukum.

Kedua, atau benar bahwa pemilik yang menutup, tanpa ormas datang, mengapa membuat laporan tersebut? Perlu diusut bukan malah menyatakan bahwa ada kesalahan, karena ada rekayasa atau malah menjadi rekayasa. Sama-sama melanggar hukum.

Ketiga, saya tetap yakin laporan pertama itu benar sesuai dengan kondisi dan keadaan di lapangan. Belepotan setelah viral karena tahu bahwa tindakannya itu keliru. Ekses berkepanjangan, bisa juga karir dan pekerjaannya terhambat.

Sangat kecil kemungkinan laporan pada atasan salah, keliru, dan tidak sesuai dengan keadaan lapangan. Pernyataan   ke publik yang keliru, dibuat berbeda demi berbagai alasan, atau meredam suasana itu sangat mungkin, namun tidak demikian untuk laporan pada atasan.

Itu hak dan kembali kepada kepolisian mau bagaimana menyelesaikan hal ini. Sangat serius   tapi paling-paling juga usai begitu saja, terlupakan.

Beberapa hal yang jauh lebih memilukan itu tanggapan orang-orang Katolik sendiri.  Beberapa pendapat yang melihatnya secara lucu, malah seolah inferior complex sebagai berikut;

Patung belum ada kelengkapan perizinan. Boleh saja demikian, namun jangan lupa, hukum tidak sepihak dan juga bagaimana jawaban atas keberadaan ormas yang meminta menutup karena mengganggu. Ini jangan dilupakan. Kebenarannya yang kudu dibela, bukan soal benar ala kelompok besar, mayoritas.

Ada pula pendapat yang garis besarnya mengatakan, jika keberadaan patung, taman doa sudah berlebihan. Tidak punya tepa selira, tentu tidak juga dijawab bagaimana toa, atau menutup  jalan demi kegiatan agama lain. Itu sama juga  minder. Namun jika memang kebanyakkan  patung atau taman doa, bukan berarti boleh ditutup dengan alasan diminta oleh pihak lain.

Merasa kebanyakkan dan tidak tepa selira itu  dari segolongan atau sepemahaman, bukan model ini. sekali lagi ini bicara kebenaran yang lebih universal. Lagi-lagi tidak dibalik dengan mengatakan, bahwa ada juga yang membangun di mana-mana tanpa memperhatikan pihak lain juga melakukan ibadah.

Saya sepakat, bahwa sudah terlalu banyak taman doa, gua Maria, patung religius di mana-mana. Namun bukan berarti bahwa membenarkan tindakan yang dilakukan aparat, sekali lagi saya masih percaya surat pertama yang benar.

Kedatangan ormas yang meminta menutup dengan alasan mengganggu itu juga lebih bisa dipercaya karena memang sering terjadi demikian. Rekaman jejak  intoleransi itu begitu kuat, bukan malah dibalik korban menjadi pelaku dan yang menjadi pelaku utama merajalela seolah pahlawan, bahkan oleh sesama korban.

Pengampunan bukan berarti membenarkan kesalahan bahkan kejahatan. Kebenaran memang tidak akan pernah ada yang sempurna sepanjang di dunia. Namun kebenaran yang mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan tentu bisa diupayakan. Hukum negara harus ditegakan, bukan ditentukan oleh mayoritas atas minoritas.

Sering orang yang sedikit, minoritas, yang merasa kecil itu kebenarannya semu, sumir, dan sering takut sehingga mengikuti yang banyak dan gede. Jika terus menerus terjadi demikian, ini mengerikan.

Pancasila dan UUD 45 adalah konstitusi negara ini, final dan mengikat. Tidak ada konsensus lain apalagi atas nama agama, segelintir orang dengan menggunakan terminologi agama pula menjungkalkan konstitusi negara.

Perlu dicermati pula tahun politik jangan dinafikan. Beberapa elit memang piawai menggunakan sudut pandang agama ini untuk mendapatkan kekuasaan. Jangan naif, apalagi inferior.

Salam JMJ

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *