DI TENGAH DERASNYA OMBAK DIGITAL
Di tengah ombak dan arus pencobaan
Hampir tenggelam, tersesat arah hidupku.. .
Penggalan syair lagu di atas bisa melukiskan kondisi keluarga-keluarga di tengah dahsyatnya dampak komunikasi digital. Kisah miris dan tragis terbaru tentang penganiayaan yang dilakukan seorang pemuda putra pejabat Ditjen Pajak, selain tingkat kesadisan dan kebrutalannya, juga dampak pemberitaan media digital yang melebar ke mana-mana. Akhirnya ayahnya dipecat dari jabatannya, dihujat sana- sini, dan sekarang menjadi tersangka kejahatan tindak pidana pencucian uang, meringkuk dalam tahanan KPK. Bahkan pacarnya pun ditahan sebagai tersangka karena dituduh ikut terlibat. Tragis! Kebetulan kasus ini menimpa sebuah keluarga Katolik.
Mendidik di Jaman Pelik
Banyak netizen menghujat dan menghakimi bapak tersebut sebagai orang yang tidak becus mendidik anak. Apalagi dengan viralnya flexing ( pamer kekayaan) yang dilakukan anaknya, naik moge dan mobil mahal Rubicon. Benarkah orangtuanya tidak mendidik dengan baik? Fakta si anak juga disekolahkan di sekolah Katolik, dari pengakuannya hubungan orangtua dan anak juga cukup dekat dan baik- baik. Rasanya juga tidak fair menimpakan seluruh kesalahan kepada orangtua. Banyak faktor terlibat dalam pembentukan karakter anak. Dulu ada argumen bahwa waktu anak dihabiskan 2/3 di rumah, dan1/3 di sekolah sehingga pendidikan keluarga dianggap berpengaruh dominan. Bagaimana dengan pengaruh gadget sekarang? Hanya waktu tidur saja anak tidak pegang gadget. Apa yang ditonton dan mainkan sepanjang hari tentu berpengaruh besar terhadap karakter anak. Bukan hanya menonton pornografi, terlebih anak dengan bebas bisa berhutang (pinjol) dan berjudi secara online, bahkan membeli narkoba, dan berinteraksi dengan segala jenis orang. Mendidik menjadi perkara pelik, orangtua yang baik-baik tidak otomatis anak jadi baik- baik. Orangtua harus menjadi teladan, ya itu benar, tetapi itu saja tidak cukup.
Teman Seperjalanan
Dari filosofi Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tulada, tampaknya Ing Madya Mangun Karsa perlu mendapat tekanan. Orangtua harus bisa menjadi teman seperjalanan anak dengan syarat membangun adanya trust dalam relasi. Orangtua harus berani menanggalkan harapan- harapannya terhadap anak dan membiarkan anak membangun harapannya sendiri. Hubungan orangtua- anak menjadi egaliter, yang tentu tidak gampang dibangun di tengah kuatnya kultur paternalistik. Orangtua bukan lagi tempat mencari nasihat dan solusi melainkan teman diskusi dan saling belajar. Anak akan mengambil keputusannya sendiri dan mempertanggungjawabkannya. Ing Madya berarti memposisikan diri sejajar, sebaya dengan anak. Mangun Karsa, ikut menguatkan tekad dan kehendak dalam mewujudkan cita-cita. Orangtua berperan selaku motivator dan fasilitator.
Amoris Laetitia
Di tengah derasnya ombak digital yang mengombang- ambingkan keluarga, perlu kiranya menyimak bagaimana Gereja menyikapinya. Salah satu ensiklik Gereja Katolik yang membahas tentang keluarga adalah Amoris Laetitia, yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2016. Dalam Amoris Laetitia, Paus Fransiskus menekankan pentingnya keluarga sebagai inti dari masyarakat dan tempat di mana iman dan nilai-nilai Kristen harus diajarkan dan dipraktikkan. Paus juga menekankan pentingnya kasih sayang dan kesetiaan dalam pernikahan, serta pentingnya dukungan dan pengampunan dalam menghadapi kesulitan dan konflik dalam hubungan keluarga.
Dari ensiklik ini tampak orangtua perlu memiliki kompetensi dan ketrampilan bagaimana mendidik anak secara Katolik sekaligus tentang kekatolikan. Pertanyaannya, dari mana para orangtua mendapat hal tersebut? Siapa yang bertanggungjawab untuk membekalinya?
Penulis: Paul Subiyanto