Tempat Menyembuhkan Luka Menjadi Cinta

Tempat Menyembuhkan Luka Menjadi Cinta

Kita Satu Keluarga

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Ujang (sebut saja begitu) selalu marah setiap kali ada teman berbicara tentang “rumah lama” tempatnya pernah tinggal dan hidup bersama teman-temannya. Ya, rumah pembinaan tempat dia pernah berjuang untuk menjadi seorang calon imam, yang telah ditinggalkan sekian puluh purnama silam. Ternyata peristiwa sekian dasawarsa membekaskan luka bernanah, sehingga terasa cukup sulit untuk disembuhkan.

Memang ada aneka alasan seseorang meninggalkan panggilan hidup membiara, baik karena alasan pribadi atau karena para pembina merasa dia tidak cocok lagi di jalan panggilan itu. Bagi seseorang yang dengan sukarela meninggalkan biara, mungkin cukup mudah baginya untuk beradaptasi dan menerima kenyataan baru. Tidak demikian dengan yang merasa “dipotong” jalannya oleh pembina. Ketika sedang semangat-semangatnya (atau pakai bahasa gaul sekarang ketika sedang sayang­sayangnya) malah ditolak melanjutkan perjalanan karena oleh pembina dinilai tidak layak, tidak cocok, bukan panggilan.

Point refleksi tulisan ini bukan tentang keputusan para pembina atas pribadi-pribadi tertentu, tetapi tentang reaksi dan sakit hati yang panjang, “seolah”terbawa mati. Memang itu hak setiap orang untuk mempertahankan lukanya, tetapi sebagai sesama yang pernah mengalami pembinaan dalam semangat dan kharisma yang sama, tulisan ini hanyalah sebuah uda rasa, bahwa untuk menjadi sembuh tidak bisa kita menjalaninya seorang diri. Kita membutuhkan orang lain yang tentu saja tidak akan serta merta membantu kita mengatasi sesaknya dada kita oleh ketidaksiapan kita menerima keputusan itu.

Ada satu prinsip yang menguatkan saya secara pribadi: “Jika saya sudah menepi selepas berlayar, saya akan membakar sampannya agar saya tidak kembali lagi ke sana dengan cara yang sama.” Ini kedengaran klise, tetapi setidaknya menolong saya untuk melepaskan diri dari sakit hati yang tidak penting, tentang apa pun hal yang saya hadapi. Saya tidak mudah untuk goyah atas omongan orang lain tentang diri saya, sekali pun itu sangat negatif di bibir orang, karena saya berprinsip bahwa sayalah yang paling tahu tentang diri saya. Saya juga tidak hidup menurut omongan orang. Hal itu yang membuat saya lepas bebas untuk bergaul, dan berada di mana saja.

Relasi Yang Positif

Setelah lepas dari MSF, saya selalu mempunyai relasi yang positif dengan MSF, bahkan kalau boleh berbagi, ada dua sosok imam MSF (bukan berarti mengabaikan yang lain) yang membuat saya selalu mencintai MSF hingga saat ini. Mereka berdua sangatlah menguatkan dan memantapkan keputusan saya untuk keluar. Pertama, Romo Yohanes Hardiwiratno, MSF, provinsial MSF Jawa saat saya keluar. Saat saya mengundurkan diri, dengan tatapan penuh kebapakan dia berpesan, “Jika selama tiga bulan pertama kamu belum dapat kerja yang tetap, jangan ragu-ragu untuk mencari saya. Semoga saya bisa membantumu.” Kata-kata itu menguatkan dan membuat diri saya merasa diperlakukan seperti seorang anak. Maka setiap kali saya ke Semarang, saya pasti mampir di Guntur untuk mengunjunginya, terlebih saat dia sudah mulai kesulitan karena sakit gula. Berkat sikap kebapakannya, membuat jarak antara saya yang mantan dan dia yang masih MSF selalu tersambung dalam semangat keluarga kudus. Ya, kita masih satu keluarga.

Kedua, Romo Wim van der Weiden, MSF, Superior Jenderal MSF saat saya keluar. Pengalaman kedekatan saya dengan Romo Wim mulai terjalin saat saya TOP di Madagaskar. Selama hampir dua minggu di Madagascar saya sering menemani dan menjadi penerjemah bagi Romo Wim, saat berkunjung ke paroki-paroki pedalaman di Distrik Ambalavao. Setelah kembali ke Roma, saya selalu berkontak dengan beliau. Dan saat beliau ke Indonesia, ketika saya sudah di luar pun, beliau masih mencari saya sambil memberi saya uang saku dalam bentuk dolar, bahkan sampai saya sudah menikah masih diberi tanpa saya meminta sekali pun. Dengan istri dan anak-anak saya, beliau sangat dekat. Bahkan kedua anak saya memperlakukannya sudah seperti kakek mereka sendiri, setiap minggu jika kami misa di Banteng, kami bertemu kadang hanya untuk “say hello.”

Dua sikap yang hampir sama dari dua mantan petinggi MSF ini membuat saya selalu merasa: kita ini memang satu keluarga (baik MSF maupun yang sudah mantan), karena kita pernah menghidupi dan terus menghayati Roh Keluarga Kudus yang sama. Nah, sebagai keluarga, kita yang sudah mantan ini bersyukur memiliki “keluarga” untuk “mengumpulkan” balung yang terpisah dan tercecer, karena panggilan dan pelayanan kita yang berbeda. Keluarga itu bernama Paseduluran Brayat Minulya Nusantara, rumah bersama kita para mantan, tempat kita menyembuhkan kerinduan juga luka, akibat merasa “dihabisi” perilaku manusiawi mereka yang mengatas-namakan Tuhan. Dalam rumah ini kita bisa saling membasuh luka, saling mencari dan melengkapi. Tidak ada yang merasa paling yunior. Tidak ada yang merasa paling senior. Karena rumah ini kita bangun bersama dalam semangat dan cinta yang sama: Keluarga Kudus Nasareth.

Paseduluran dalam Keluarga

Dalam   Paseduluran ini kita terpanggil untuk saling menopang, agar tiang-tiang rumah kita tidak roboh. Pada Reuni Akbar 19-20 November 2022 lalu, kita telah membuktikan itu. Kita berkumpul setelah melakukan perjalanan panjang, baik dari Agats Papua, Kalimantan, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Yogyakarta. Perjalanan panjang itu ibarat luka yang terus terbawa sejak meninggalkan MSF. Tidakkah kita akan lelah dan sakit, jika terus saja membawa beban luka itu sepanjang jalan hidup kita? Alangkah indahnya setelah melakukan perjalanan panjang itu, saat tiba di rumah kita ini, kita meleburkan luka-luka batin itu, dalam perjumpaan yang penuh canda dan tawa, saling menguatkan dan saling memberi: bukan terutama materi tetapi cinta dan perhatian.

Di rumah Paseduluran ini mestinya teman-teman semacam Ujang menemukan obat penyembuh luka batinnya. Bukan untuk melupakan bahwa pernah terluka, tetapi hanya untuk menegaskan bahwa dalam rumah Paseduluran ini, kita adalah satu keluarga yang saling mendukung dan melindungi. Tidak peduli seperti apa masa lalu kita, kita tetaplah satu keluarga. Kita berharap dalam rumah kita bersama ini, rekan-rekan kita yang bernasib seperti Ujang tidak terus berlari membawa lukanya, ketika mengingat atau menyebut kata MSF, kata Binaz atau nama pribadi-pribadi tertentu. Dalam sebuah keluarga, selain saling menolong secara material (yang mungkin seadanya), kita justru diperkaya karena saling menolong dengan saling mendoakan, agar kita kuat di jalan panggilan dan pelayanan kita yang beraneka itu.

Akhirnya, semoga Paseduluan Brayat Minulya Nusantara (PBMN) ini terus langgeng, hingga kita     satu per  satu berhenti dan mengakhiri perjalanan hidup kita. Biarlah rumah ini menjadi rumah jumpa anak dan cucu kita. Dalam rumah ini mereka menemukan, bahwa ayah, kakek dan buyut mereka pernah hidup dalam perguruan yang sama, dalam asuhan Keluarga Kudus Nasareth.

Yogyakarta, 22 Februari 2023

Hari Rabu Abu: saatnya kita meng­abu­kan luka menjadi cinta yang memerdekakan.

M. Unggul Prabowo

Penulis lepas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *