Sadranan

Sadranan

Penghormatan pada leluhur itu penting. Eh pada sisi yang lain banyak yang menilai itu sebagai hal yang sia-sia. Malah ada yang sedang booming kalau ziarah kubur itu sesat, tidak berguna.

Salah satu, yang sangat bagus itu sadranan. Ada relasi dengan sesama dalam kebersamaan dan pengenangan akan leluhur dan kerabat.

Tradisi Sadranan di makam Sentono Juwangi, pada tahun ini jatuh pada tanggal 29 Maret 2022. Bertepatan dengan hari ke-25 di bulan Ruwah menurut Penanggalan Kalender Jawa. Tradisi  dan kearifan lokal ini menjadi bentuk  kebiasaan masyarakat di sekitar pemakaman untuk melakukan ziarah kubur guna mendoakan arwah leluhur yang dimakamkan di sini.

Prosesi kegiatan Sadranan dimulai dengan kedatangan masyarakat ke lokasi pemakaman dengan membawa makanan yang dimasukkan ke tempat wadah atau baskom yang sudah ditata. Di tempat lain, tenong, dalam zaman modern ini terbuat  dari almunium. Dulunya dari anyaman bambu. Masing-masing bawaan tadi ditempatkan menjadi satu dengan yang lainnya.

Rangkaian acara dimulai dengan membersihkan makam leluhur dan mendoakan serta menaburkan bunga di pusara. Tabur bunga dan bebersih selesai kemudian masuk dalam kelompok besar  yang sudah duduk di tempat yang telah disediakan. biasanya di bagian depan makam, dan menghadap makanan yang sudah dibawa.

Pokok acara, yang dinanti-nantikan tiba,  sambutan pemangku wilayah Desa Juwangi. Disambung dengan doa yang dipimpin oleh tokoh agama setempat, masyarakat mengikutinya.

Paling menyenangkan adalah ini, mengakhiri kegiatan sekaligus puncak acara yaitu ondroino dahar kembul makan bareng makanan yang dibawa.  Bisa makan yang dibawa, bisa juga saling tukar dengan kanan-kiri kita.

Sebelum pulang, jangan lupa memasukkan uang ke kotak di dalam pemakaman yang sudah disediakan sebagai bentuk rasa syukur. Dana itu  digunakan untuk kebersihan dan  pemeliharaan makam.

Seluruh rangkaian acara sudah selesai, kini saatnya pulang diiringi ungkapan rasa syukur dengan membawa kembali makanan yang sebagian sudah ditukar dengan makanan yang dibawa orang lain.

Penulis: Nowo, Pegiat literasi budaya tradisional dari Yuwangi Boyolali.

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *