LAUDATO SI, PASTOR,  DAN SENGSU

LAUDATO SI, PASTOR,  DAN SENGSU

Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Laudato Si yang substansinya mengajak umat Katolik untuk peduli lngkungan dengan menjaga dan merawat bumi beserta seluruh ciptaan-Nya. Gerakan peduli lingkungan akan lahir ( bukan sekadar show dan motto) jika didorong oleh kesadaran ekologis yang kuat. Dengan demikian,  tindakan- tindakan  praktis terkait lingkungan dilakukan dengan motif ekologis, bukan motif lain. Misalnya, orang menjadi vegetarian ( tidak makan daging) didorong kesadaran bahwa daging dan susu diproduksi oleh peternakan besar dengan merusak lingkungan dan punya efek rumah kaca yang merusak ozon, bukan hanya motif kesehatan atau spiritual. Orang mengurangi bepergian dengan kendaraan bermesin bukan karena motif ekonomi atau kesehatan tetapi kesadaran ekologis untuk mengurangi gas buang yg mengandung CO. 

  Dalam lingkup Gereja Katolik, yang kultur “pastor sentris” nya masih kuat, peran Pastor selaku pemuka umat dalam menumbuhkan kesadaran ekologis sangat dibutuhkan baik melalui mimbar maupun keteladanan. Seturut spirit Laudato Si, seorang Pastor idealnya memiliki kesadaran ekologis yang kuat sehingga akan mudah meresonansi umat. 

   Sebuah fenomena yang sudah lazim bahwa para Pastor ( dan orang Katolik?) dikenal sebagai penggemar kuliner Sengsu ( masakan dari daging anjing) padahal beberapa Pemda, seperti Solo sudah menerbitkan Perda pelarangan perdagangan sengsu. Tetapi kenyataannya di tempat- tempat ziarah Katolik justru selalu ada penjual kuliner khas ini. Di Bali dulu banyak warung sengsu atau RW, tetapi sekarang sulit untuk menemukannya  karena banyak diprotes turis asing. Anjing dikategorikan hewan peliharaan (pet)  yang sudah menjadi sahabat manusia dan habitatnya di tengah keluarga. Mosok teman makan teman? 

   Bukankah Kitab Kejadian memerintahkan untuk” menguasai” seluruh ciptaan yang lain? Allah memang menyerahkan alam seisinya  untuk kepentingan manusia tetapi tidak memberikan sebagai pemegang “hak milik” sehingga bisa bertindak semena-mena. Larangan untuk memakan Buah Terlarang menegaskan bahwa Allah tetap sebagai pemilik, dan manusia hanya pegang ” hak guna” dengan tanggungjawab menjaga dan merawat. 

   Kembali soal sengsu, seharusnya kebiasaan santap tongseng jamu di kalangan para Pastor ini segera dihentikan, karena selain memalukan di mata internasional juga tidak selaras dengan spirit Laudato Si. 

Tanah Lot, 10 Maret 2024

Dr. Paul Subiyanto, M. Hum

Paul Subiyanto

Dr.Paulus Subiyanto,M.Hum --Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali ; Penulis buku dan artikel; Owner of Multi-Q School Bal

One thought on “LAUDATO SI, PASTOR,  DAN SENGSU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *