Refleksi Paus: Dekat, Murah Hati, dan Bela Rasa
Kunjungan Paus beberapa waktu lalu ternyata mendapatkan atensi baik dari Paus Fransiskus sendiri. Dalam sebuah pernyataan setelah pulang, pemimpin agama Katolik itu merefleksikan perjalanannya yang cukup jauh, di mana usia sudah sepuh seperti itu. Di sini,media ingar bingar dengan pembicaraan mengenai tampilan Paus dari Argentina itu yang sederhana, apa adanya, dan memilih kendaraan, penginapan, makan, dan semua hal yang sederhana. Sama dengan apa yang umatnya makan, kenakan, dan lakukan.
Perjalanannya ia refleksikan sebagai perjalanan jauh yang membuka mata, bahwa selama ini ternyata masih Eropa sentris, Barat banget. Ingat ia juga dari dunia ketiga, Timur, sangat mungkin bahwa ketika “kembali” ke dunia yang sama. Lain dengan tempat hidupnya ketika menjadi Uskup Roma.
Refleksi lain yang dinyatakan dalam tiga butir, laik untuk diulik lebih jauh. Dekat, murah hati, dan bela rasa. Sebagaimana Tuhan ajarkan, lakukan, dan itu diwujudnyatakannya secara langsung.
Dekat.
Paus mengatakan, kedekatan sebagaimana Allah juga dekat dengan manusia. Relasi yang dekat ini kontekstual banget dengan hidup hari-hari ini di Indonesia yang sedang giat-giatnya membedakan. Menyeparasikan, dan menilai yang berbeda sebagai liyan, padahal Bhineka Tunggal Ika adalah pemersatu bangsa.
Apa yang dinyatakan dalam lambang negara Indonesia itu sedang diuji. Refleksi Paus menyentak kita, paling tidak, bahwa kita sering mengasingkan diri, mengalienasi karena perbedaan yang ada. Merasa lebih dari pada yang lain, sehingga menjadi jarak.
Murah Hati
Sikap murah hati berkaitan dengan pemberian diri, memikirkan pihak lain. Hal yang tepat, kontekstual dengan keberadaan pengelolaan tambang yang diberikan hal kepada ormas keagamaan oleh pemerintah. Kesejahteraan warga, umat dalam konteks agama itu baik. Murah hati pemerintah kepada masyarakatnya melalui ormas.
Sikap yang baik itu perlu juga dinyatakan, dilakukan, dan dikerjakan secara nyata. Meminimalisasi keuntungan sendiri, sebagaimana elit negeri ini lagi sibuk demikian. Mengumpulkan, tidak membagikan. Fokusnya ke dalam, bukan ke luar. Hal yang sangat baik, nasihat penting, untuk murah hati.
Bela Rasa
Lagi-lagi sangat penting. Bagaimana bela rasa itu mampu merasakan duka pihak lain. Jika ikut bersuka cita sangat mungkin hampir semua bisa melakukan. Namun bagaimana jika itu kesulitan, duka, dan hal-hal yang tidak semestinya.
Bagaimana umat yang minoritas malah kesulitan membuat rumah ibadah, lha membuat, wong ibadah di rumah saja dibubarkan. Bela rasa, merasakan duka, kesulitan, dan juga ketidakenakan pihak lain sebagai keadaannya sendiri.
Nasihat Paus Fransiskus, dalam gagasan, perkataan, tindakan, dan juga perilaku harian. Satu paket komplet, tidak semata dunia ide semata.
Salam JMJ
Susy HaryawanRefleksi Paus: Dekat, Murah Hati, Bela Rasa
Kunjungan Paus beberapa waktu lalu ternyata mendapatkan atensi baik dari Paus Fransiskus sendiri. Dalam sebuah pernyataan setelah pulang, pemimpin agama Katolik itu merefleksikan perjalanannya yang cukup jauh, di mana usia sudah sepuh seperti itu. Di sini,media ingar bingar dengan pembicaraan mengenai tampilan Paus dari Argentina itu yang sederhana, apa adanya, dan memilih kendaraan, penginapan, makan, dan semua hal yang sederhana. Sama dengan apa yang umatnya makan, kenakan, dan lakukan.
Perjalanannya ia refleksikan sebagai perjalanan jauh yang membuka mata, bahwa selama ini ternyata masih Eropa sentris, Barat banget. Ingat ia juga dari dunia ketiga, Timur, sangat mungkin bahwa ketika “kembali” ke dunia yang sama. Lain dengan tempat hidupnya ketika menjadi Uskup Roma.
Refleksi lain yang dinyatakan dalam tiga butir, laik untuk diulik lebih jauh. Dekat, murah hati, dan bela rasa. Sebagaimana Tuhan ajarkan, lakukan, dan itu diwujudnyatakannya secara langsung.
Dekat.
Paus mengatakan, kedekatan sebagaimana Allah juga dekat dengan manusia. Relasi yang dekat ini kontekstual banget dengan hidup hari-hari ini di Indonesia yang sedang giat-giatnya membedakan. Menyeparasikan, dan menilai yang berbeda sebagai liyan, padahal Bhineka Tunggal Ika adalah pemersatu bangsa.
Apa yang dinyatakan dalam lambang negara Indonesia itu sedang diuji. Refleksi Paus menyentak kita, paling tidak, bahwa kita sering mengasingkan diri, mengalienasi karena perbedaan yang ada. Merasa lebih dari pada yang lain, sehingga menjadi jarak.
Murah Hati
Sikap murah hati berkaitan dengan pemberian diri, memikirkan pihak lain. Hal yang tepat, kontekstual dengan keberadaan pengelolaan tambang yang diberikan hal kepada ormas keagamaan oleh pemerintah. Kesejahteraan warga, umat dalam konteks agama itu baik. Murah hati pemerintah kepada masyarakatnya melalui ormas.
Sikap yang baik itu perlu juga dinyatakan, dilakukan, dan dikerjakan secara nyata. Meminimalisasi keuntungan sendiri, sebagaimana elit negeri ini lagi sibuk demikian. Mengumpulkan, tidak membagikan. Fokusnya ke dalam, bukan ke luar. Hal yang sangat baik, nasihat penting, untuk murah hati.
Bela Rasa
Lagi-lagi sangat penting. Bagaimana bela rasa itu mampu merasakan duka pihak lain. Jika ikut bersuka cita sangat mungkin hampir semua bisa melakukan. Namun bagaimana jika itu kesulitan, duka, dan hal-hal yang tidak semestinya.
Bagaimana umat yang minoritas malah kesulitan membuat rumah ibadah, lha membuat, wong ibadah di rumah saja dibubarkan. Bela rasa, merasakan duka, kesulitan, dan juga ketidakenakan pihak lain sebagai keadaannya sendiri.
Nasihat Paus Fransiskus, dalam gagasan, perkataan, tindakan, dan juga perilaku harian. Satu paket komplet, tidak semata dunia ide semata.
Salam JMJ
Susy Haryawan