KONTROVERSI SEPUTAR PAUS FRANSISKUS

KONTROVERSI SEPUTAR PAUS FRANSISKUS

     Kendati mayoritas Uskup dalam Gereja Katolik mendukung kebijakan dan kepemimpinannya, Paus Fransiskus tetap harus menghadapi berbagai kontroversi terkait masalah-masalah sosial seperti homoseksualitas, perceraian, peran wanita dalam Gereja Katolik dan penanganan kasus pelecehan seksual oleh klerus.  Sikap oposisi ditunjukkan oleh beberapa Uskup dalam Gereja Katolik, terutama yang berperspektif tradisional konservatif.

Uskup Agung Carlo Maria Vigano

       Uskup Agung Vigano adalah  mantan diplomat negara Vatikan, yang pernah bertugas sebagai Nuntio Apostolik (Duta Besar) untuk Amerika Serikat tahun 2011 sampai 2016. Sekretaris Jenderal Negara Kota Vatikan (2009-2011). Lahir 16 Januari 1941 di Varese, Italia, ditahbiskan sebagai imam tahun 1968, dan diangkat sebagai Uskup tahun 1992. Vigano terkenal karena surat terbuka yang dengan kritik-kritik tajamnya secara public kepada Paus Fransisikus, terutama dengan surat terbuka yang dikenal sebagai “Surat Vigano” yang kontroversial pada tahun 2018. Dalam surat ini Vigano menuduh Paus mengetahui dan salah menangani dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Kardinal Theodore McCarrick dan tidak mengambil tindakan. Vigano juga menyampaikan jaringan korupsi di Vatikan. Dalam surat itu bahkan Vigano meminta Paus Fransisikus mengundurkan diri. Pernyataan-pernyataannya telah menimbulkan polarisasi dalam Gereja Katolik : kelompok yang menganggapnya sebagai wistleblower yang berani mengungkap korupsi yang ditutup-tutupi di Vatikan dan kelompok yang memandangnya sebagai sosok yang mencoba merongrong kekuasaan Paus.  Pandangan-pandangan Vigano sering didasari unsur-unsur tradisional dan konservatif terkait ajaran moral Gereja. Kardinal Vigano akhirnya dikenai sanksi terberat, eks-komunikasi dari Vatikan.

       Kasus Kardinal Theodore McCarrick adalah kasus pelecehan seksual paling menonjol dan menarik perhatian public. McCarrick adalah mantan Kardinal Amerika yang penting, dugaan pelanggaran pelecehan seksual tehadap para seminaris baik menengah dan dewasa selama puluhan tahun dan kasusnya mulai mencuat pada tahun 2018 ketika sedang diselidiki oleh Vatikan. Pada Februari 2019, McCarrick dicopot dari jabatan gerejani atau dilaisiasasi (menjadi awam) atau dicabut imamatnya. Keputusan ini dibuat oleh Paus Fransisikus setelah investigasi pihak Vatikan menemukan bahwa McCarrick bersalah karena pelecehan seksual baik terhadap orang dewasa dan anak-anak.  Kasus ini menimbulkan tekanan berat bagi Vatikan terkait bagaimana Gereja menangani kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para imamnya.  Ini juga menimbulkan kontroversi terkait keterbukaan dan perlunya transparansi yang menyangkut herarki dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual.

     Sehubungan dengan skandal korupsi di Vatikan, ada beberapa kasus yang mencuat sehingga muncul tuntutan perlunya keterbukaan dan kejelasan dari pihak Tahta Suci.  Salah satu yang mendapat perhatian public adalah kasus Bank Vatikan, yang secara resmi bernama Institute for The Works of Religion (IIOR). Pada tahun 2010 muncul dugaan terjadi pencucian uang dan penyimpangan keuangan pada bank tersebut, yang akhirnya dilakukan investigasi dan pembaruan yang diinisiasi oleh Paus Fransiskus.

         Kasus lain dikenal sebagai “Vatileak”, yakni  kebocoran dokumen-dokumen rahasia Vatikan yang keluar sampai media pada tahun 2012 dan 2015 terkait masalah korupsi dan salah urus dalam negara Vatikan sehingga berakibat ditahannya beberapa orang yang terlibat dalam pembocoran tersebut. Kasus ini memunculkan dugaan terjadi penyalahgunaan keuangan dan investasi mencurigakan yang melibatkan asset Vatikan sehingga timbul desakan keterbukaan dan pemeriksaan yang lebih besar terhadap keuangan Vatikan. Kasus korupsi benar-benar merongrong kredibilitas Vatikan terutama secara etis sehingga ada desakan agar Tata Suci menguatkan tata pemerintah yang bersih bersih dan transparan.  

      Berikut orang-orang yang diduga terlibat dalam skandal korupsi di Vatikan selama bertahun-tahun:

  1. Angelo Caloia:  Mantan Presiden Bank Vatikan ini terindikasi pada tahun 2018 melakukan penggelapan uang dan pencucian uang. Ia dituduh terlibat dalam transaksi-transaksi  real estate yang merugikan selama masa kerjanya di bank Vatikan.
  2. Paulo Gabriele:  Mantan Kepala Rumah Tangga Paus BENEDIKTUS XVI ini dituduh terlibat dalam pembocoran dokumen rahasia yang dikenal sebagai skandal “Vatileak” pada tahun 2012. Pembocoran ini mengungkap dugaan-dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di Vatikan.
  3. Carlo Alberta Capella: Mantan diplomat Vatikan ini dituduh dalam kasus kepemilikan dan menyebarkan pronografi anak pada tahun 2018.  Kasusnya menguatkan tuntutan penanganan dugaan pelecehan seksual dan penyimpangan seksual di kalangan klerus dan diplomat.

Kardinal Raymond Burke

     Raymond Burke lahir di Wisconsin, 30 Juni 1948, ditahbiskan imam Gereja Katolik tahun 1975, dan dikenal sebagai pembela ajaran iman tradisional Gereja Katolik. Kardinal Burke adalah seorang pejabat Gereja Katolik di Amerika yang menjabat Uskup Agung di Keuskupan Agung St Louis dari tahun 2003 sampai 2008. Burke kemudian ditunjuk sebagai Kardinal oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2010.  Ia dikenal sebagai sosok konservatif tentang masalah-masalah liturgi dan doktrin dalam Gereja Katolik.  Ia menduduki posisi penting dalam Herarki seperti  Perfect of Supreme Tribunal of Apostolic Signatura, otoritas hukum tertinggi dalam Gereja Katolik.  Burke  mengkritik berbagai masalah terkait liturgi, doktrin dan ajaran moral. Bahkan  Ia menuduh kebijakan Paus Fransiskus sehubungan dengan perceraian dan perkawinan kembali sebagai keputusan yang kacau dan ambigu.  Pandangan-pandangannya sering dianggap mewakili perspektif tradisional dan konservatif dalam Gereja Katolik.  Dengan cara itu, Ia merasa menyuarakan interpretasi murni terhadap doktrin dan tradisi Gereja Katolik sehingga kebijakan-kebijakan Paus Fransiskus dianggap menyimpang  dari doktrin Gereja Katolik. Pendangan-pandangan konservatifnya sering menimbulkan kontroversi dalam herarki Gereja Katolik.

    Salah satu krtiik tajamnya ditujukan terhadap dokumen Paus Fransiskus “Amoris Laetitia”, terkait kehidupan keluarga dan perkawinan.  Menurut Burke dokumen itu ambigu sehubungan dengan dibolehkannya penerimaan komuni oleh orang Katolik yang telah cerai dan kawin kembali.  Ia berpendapat hal itu berpotensi mengacaukan dan merongrong doktrin tradisional Gereja tentang perkawinan yang tak terceraikan.

      Amoris Laetitia adalah dokumen yang ditulis Paus Fransiskus pada tahun 2016, berbicara tentang cinta dalam keluarga.  Pokok-pokok penting dalam dokumen tersebut meliputi pentingnya empati dan pengertian dalam keluarga, juga tantangan-tantangan seperti perceraian dan perkawinan kembali, serta perlunya meningkatkan peran cinta dan kasih sayang dalam mengelola hubungan. Dokumen ini memicu banyak diskusi karena menyentuh berbagai aspek kehidupan keluarga seperti perkawinan, perceraian, dan sikap Gereja mengenai masalah-masalah tersebut.  Kontroversi paling hangat berkenaan dengan orang-orang Katolik yang sudah bercerai dan menikah lagi diijinkan menerima komuni. Pihak yang setuju berpendapat dokumen ini sebagai pendekatan pastoral yang lebih luwes dengan mengedepankan kasih sayang dan pengertian terhadap doktrin tradisional yang kaku. Sementara pihak yang menentang berpendapat dokumen ini bisa merongrong ajaran Gereja tentang perkawinan dan sakramen yang sudah ada.  Adanya ambiguitas yang menimbulkan berbagai interpretasi dari para uskup dan teolog sehingga menimbulkan perdebatan dalam Gereja Katolik.

Kardinal Gerhard Muller

       Gerhard Ludwig Muller adalah seorang Kardinal di Jerman, pernah menjabat sebagai  Ketua Kongregasi untuk Doktrin dan Iman di Vatikan dari 2012 sampai 2017. Lahir 31 Desember 1947 di Mainz, Jerman, ditahbiskan sebagai imam Katolik tahun 1978. Muller seorang profesor bidang Teologi Dogmatik sebelum ia ditahbiskan sebagai Uskup di Reggesburg tahun 2002. Paus Benediktus VI mengangkatnya sebagai Kardinal tahun 2014.  Secara umum ia mendukung kepemimpinan Paus Fransiskus namun juga mengkritik beberapa kebijakannya terkait interpretasi teologis mengenai reksa pastoral, terutama terkait dokumen Amoris Laetitia tentang perceraian dan perkawinan kembali.  Ia menekankan pentingan kejelasan dan keberlangsungan (clarity and continuity) dalam Gereja katolik. Secara umum pandangan-pandangannya mencerminkan komitmen terhadap sikap tradisionalisme namun juga terlibat dalam masalah-masalah kontemporer yang dihadapi Gereja Katolik.  Sebagai representasi kaum konservatif ia menekankan pentingnya kesetiaan pada doktrin Gereja. Kritiknya memicu perdebatan lebih luas mengenai interpretasi dan aplikasi doktrin dalam konteks kontemporer.

    Hubungan Paus Fransiskus dan Kardinal Muller diwarnai kolaborasi dan pertentangan. Ia melayani Paus Fransiskus sebagai Perfek Kongregasi Iman dan Doktrin sampai masa jabatannya berakhir tahun 2017.   Selama itu, ia bekerja sama terkait berbagai masalah mengenai doktrin dan pemerintahan Gereja. Namun demikian, mencuat juga perbedaan -interpretasi perbedaan secara public sehubungan ajaran Gereja. Muller berpendapat kebijakan Paus Fransiskus berpotensi terjadi penyimpangan dari doktrin tradisional. Kendati demikian, hubungan Paus Fransisikus dan Kardinal Muller tetap saling menghormati, mencerminkan keberagaman pendapat dalam Gereja Katolik.

SSPX

     The Society of Saint Pius X ( SSPX) adalah kelompok imam tradisional Katolik yang didirikan oleh Uskup Agung Marcel Lefebre pada tahun 1970 di Perancis sebagai reaksi terhadap diterbitkannya Konsili Vatikan II dalam Gereja Katolik.  Lefebre berpendapat bahwa Konsili Vatikan II adalah penyimpangan dari ajaran dan praktik tradisional gereja Katolik. SSPX tetap menggunakan Misa Tridentine (Misa Bahasa Latin Pra Konsili), dan menolak perubahan-perubahan yang diamanatkan oleh Konsili Vatikan II, terutama menyangkut liturgi, ekumene, dan kebebasan beragama. SSPX beroperasi secara independent, tidak di bawah Gereja Katolik Roma.

      Pada tahun 1988, Uskup Agung Lefebvre menahbiskan empat uskup tanpa persetujuan Paus sehingga berakibat ekskomunikasi, temasuk empat Uskup yang bersangkutan. Namun demikian, pada tahun 2009 Paus Benediktus VI membatalkan ekskomunikasi, dan mengakui empat uskup SSPX tertahbis dengan tujuan untuk rekonsiliasi. Kenyataannya penyatuan secara formal ke dalam Gereja Katolik Roma tak pernah terwujud, terutama karena menyangkut perbedaan-perbedaan doktrinal yang tak terpecahkan.  Hingga sekarang SSPX tetap beroperasi, berdiri sendiri tidak di bawah Gereja Katolik Roma dengan setia pada praktik liturgi pra konsili. Organisasi ini menyelenggarakan seminari-seminari, sekolah-sekolah dan gereja-gereja di seluruh dunia. SSPX diminati kaum tradisionalis Katolik yang berkeyakinan melestarikan ajaran dan praktik Gereja Katolik tradisional yang benar, sedangkan Konsili Vatikan II dianggap sebagai penyimpangan.

Paus Fransiskus sangat berharap terjadi rekonsiliasi dengan kelompok SSPX, dan terjadi penyatuan kembali dengan Gereja Katolik namun persoalan lama terkait perbedaan doktrinal tetap menjadi penghalang. Paus tetap membuka peluang untuk dialog dengan SSPX, dengan menekankan pentingnya kesetiaan pada ajaran Gereja dan kesatuan dalam komunitas Katolik yang lebih luas dengan syarat SSPX menerima pokok-pokok doktrinal tertentu dan mengakui dan tunduk pada otoritas Paus dan Magisterium Gereja.  Diskusi-diskusi masih terus berlanjut sementara itu SSPX juga tetap beroperasi dan mengembangkan gerakannya sebagai pelestari praktik tradisional Gereja.

Dr. Paul Subiyanto

Paul Subiyanto

Dr.Paulus Subiyanto,M.Hum --Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali ; Penulis buku dan artikel; Owner of Multi-Q School Bal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *