Kenangan yang Menyamangati

(Temu Paseduluran Brayatminulya Nusantara)
Temu di Juwangi
Ketika Paseduluran Brayatminulya Wilayah Solo mengumumkan akan mengadakan acara di Juwangi, Minggu 16 Februari 2025, dalam hati saya berkata, “Aku kudu melu (harus ikut).” Saya batalkan beberapa acara yang sudah teragenda dan bersama istri saya berangkat ikut gabung temu paseduluran.
Juwangi berada di Kabupaten Boyolali, letaknya dekat Waduk Kedungombo sebelah ke arah utara. Umat katolik di Juwangi masuk dalam tata penggembalaan paroki Purwodadi. Kalau kita dari Purwodadi akan ke Juwangi musti menempuh jarak 38 kilometer atau sekitar 60 menit perjalanan; kalau dari Boyolali jaraknya 60 kilometer (1,5 jam); dari Solo 50 kilometer dan dari Semarang 65 kilometer atau sekitar dua jam.
Selain perjumpaan dengan para sedulur serumah dulu, yang mendorong saya untuk ikut adalah kenangan 35 tahun lalu. Waktu itu saya mendapat tugas asistensi natal pertama kali. Asistensi natal merupakan kegiatan frater MSF membantu para imam di paroki-paroki pada hari raya tertentu, biasanya Natal dan Paskah.
Dalam perjalanan dari Semarang ke Juwangi, saya terkenang masa lalu. Setelah sampai di Paroki Purwodadi, saya dijemput seorang bapak, yang rupanya ketua stasi. Selain perlengkapan menginap, saya juga membawa hosti yang sudah diberkati untuk ibadat Natal. Kami berangkat dari Purwodadi ke Juwangi naik bis umum. Saya duduk anteng dan terasa lama sekali.

Dari Semarang ke Juwangi perjalanan lancar. Jalan bagus. Memang ada sedikit kerusakan, tetapi tidak berarti. Jalan aspal dan juga ada ruas jalan dari beton. Sesampai di Juwangi, tampak Bangunan Kapel dari tembok dan berdiri kokoh, meski kecil. Sudah bagus, kataku dalam hati. Dulu, dindingnya dari papan kayu. Di depan kapel tampak ramai orang berjualan pisang. Rupanya, kapel berada dekat pasar pisang dan pasar hewan. Belum tampak sedulur yang datang. Setelah menghubungi Mas Nowo sebagai tuan rumah, kami diarahkan untuk singgah ke rumahnya terlebih dahulu. Rumahnya tidak jauh dari Kapel.
Setiba di rumah Mas Nowo, saya teringat di mana dulu saya menginap dan tidur : sebuah kamar depan yang berada di sisi kanan ruang tamu. Saya masuk rumah mas Nowo, dan Ketika masuk rumah saya tengok ke kanan. Benar saja. Sepertinya, di kamar itu dulu saya tidur. Kakak mas Nowo, yang menyambut kami bercerita bahwa kamar tersebut memang dikhususkan untuk menginap frater, suster atau romo yang ke Juwangi. “Sudah lama sekali kamar itu khusus diperuntukkan istirahat bagi suster, frater maupun imam yang pelayanan di Juwangi,” papar kakak Mas Nowo.

Menimba Semangat Pelayanan
Mas Dwi Agus, dari Ungaran, rupanya sudah duluan datang sebelum saya. Tak lama kemudian Mas Ignas dari Kudus dan Mas Tono Tirto dari Boyolali dan para sedulur dari Solo tiba mengedarai sepeda motor. Seperti biasanya, beberapa di antara mereka datang bersama keluarga. Dalam rombongan solo, ada juga Romo Anton R. Tjokroatmojo yang bertugas di Agats, Papua.

Romo Tjokro, demikian kami akrab memanggilnya, saat ini bertugas di Keuskupan Agats Papua. Kebetulan beberapa hari lalu Romo Tjokro ada acara di Klaten dan akan Kembali beberapa hari ke depan, sehingga bisa bergabung dalam acara temu paseduluran. Dulu Ketika saya tinggal di Jogja, Romo Tjokro bertugas di Kalimantan.
Setelah melepas lelah, acara paseduluran dimulai dengan doa rosario dan dilanjut sharing Romo Tjokro. Paseduluran Brayat Minulya Nusantara, menurut Romo Tjokro, awalnya dibentuk karena keprihatinan para biawaran dan imam MSF yang memilih dan memutuskan untuk hidup di luar biara. Bagi para mereka yang keluar biara, hidup di luar biara terasa sekali banyak tantangan : Dari kehidupan yang serba tersedia menjadi harus mencari dan menyediakan sendiri.
“Beruntung, kami waktu itu banyak mengenal orang-orang penting di perusahaan-perusahaan besar. Apalagi zaman dulu banyak perusahaan yang dikelola secara sederhana. Belum seperti sekarang. Karenanya, kami bisa menitipkan para alumni untuk bekerja di Perusahaan tersebut,” papar Romo Tjokro.

Jumlah anggota paseduluran semakin tahun terus bertambah. Jika dulu Paseduluran Brayatminulya hanya ada di Jakarta, saat ini tersebar di segala penjuru tanah air. Wilayah kepengurusan dibagi : Jabodetabek, Jogja, Solo, Semarang, Surabaya, Bali dan NTT serta Papua dan Kalimantan. Banyaknya anggota paseduluran -dari berbagai penjuru kota dan beragam usia– membuat komunikasi semakin hari kian dinamis.
Romo Tjokro menyatakan sangat senang bisa ikut temu paseduluran di Juwangi ini. Romo Tjokro membawa oleh-oleh tiba buah salib ukiran karya umat Agats. Satu salib besar diberikan kepada tuan rumah dan dua salib lainnya dibagikan sebagai doorprize. “Saya senang ikut pertemuan ini,” kata Romo Tjokro, “Karena saya dapat menimba semangat, sebagai bekal pelayanan saya di Agats.”
Romo Tjokro adalah salah satu imam yang meninggalkan biara MSF dan dan berkarya di keuskupan sebagai imam diosesan. Area pelayanan Romo Tjokro di Keuskupan Agats, Papua. Kendati sudah usia 75 tahun, tetapi Romo Tjokro masih sering kunjungan ke paroki dan atau stasi pedalaman Papua. Pada medsos, Romo Tjokro sering memposting pelayannya di tengah umat kalangan pedalaman Agats. Selain itu Romo Tjokro juga dipercaya untuk mengelola Yayasan yang berkarya merehabilitasi penderita kusta. Usianya sekitar 75 tahun, tetapi Romo Tjokro mampu berjam-jam di atas speed boat, menelusuri sungai, menyeberangi rawa, menerobos tanaman rawa untuk mencapai tempat pelayanan dan terpeliharanya iman katolik umat pedalaman.

Tentu banyak anggota Paseduluran Brayat Minulya yang hadir pada pertemuan di Juwangi ini yang juga terispirasi dan termotivasi kembali semangatnya dalam pelayanan masing-masing, baik di rumah, di tempat kerja maupun pelayanan di paroki dengan semangat Keluarga Kudus Nazareth.
Di akhir acara, Mas Jaya, Koordinator Paseduluran Brayatminulya Solo Raya menyampaikan terima kasih atas kebersamaan sepanjan hari ini. “Perjalanan temu darat yang penuh kesan dan makna. Belajar banyak hal dalam perjalan hari ini, pentingnya komunikasi, walau tanpa kata, sikap saling membantu dan kerjasama dalam paseduluran. Saling pengertian dan saling mahami, saling mengingatkan jika ada yang kebablasan. Tidak egois, ngeyelan dan mau menang sendiri. Betapa indahnya paseduluran PBMN” ujar Mas Jaya.*

Sae