[CerMin]: WUNI
Kujabat erat tangan perempuan itu dan terasa lebih kurus daripada 30 tahun yang lalu. Mata kami saling menatap. Ada segurat senyum di bibirnya yang tipis, dan yang aku sukai kalau ia tersenyum, tulang pipinya tampak terangkat dan menonjol. Tapi ada sedikit mendung di matanya. Entah dorongan dari mana ketika aku tiba- tiba berkata lirih, ” Boleh aku peluk Wuni? “. Ia menatap mataku, sekejap mendung itu sirna sambil mengangguk. Maka kupeluk ia dengan erat dan hangat seolah seluruh enerjiku ingin kutumpahkan padanya. Ia pun memelukku dengan erat sambil membiarkan wajahnya jatuh di pundakku. Tiba- tiba kurasakan hangat air matanya menembus ke pundakku. Lalu ia melepaskan diri sambil berbisik, ” Maaf Romo”. Aku hanya tersenyum, lalu kujawab,
” Panggil aku, John saja”.. Ia tersipu.
” John, nama yang selalu kusebut dalam setiap doaku, terutama Rosario agar Bunda melindungi imamatmu”, katanya.
” Terimakasih, kamu memang orang baik”, jawabku sekenanya. Sejak masa mudanya Wuni memang punya devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Ah…. Ingatan John tiba- tiba melayang tiga puluh tahun silam. Pertemuannya dengan Wuni diawali ketika Mudika Paroki berjiarah ke Sendang Sono. Berjalan kaki dari Kalibawang di bawah guyuran hujan gerimis dan meniti jalanan licin. Aku memegang payung sedang Wuni memegang tongkat bambu. Berjalan berdua di bawah satu payung romantis sekali. Ia bukan tipe wanita yang kuat, sedikit- sedikit berhenti untuk ambil nafas. Bahkan sempat terpeleset, untung dengan sigap aku menangkap tubuhnya yang oleng sehingga terpaksa berpelukan. Kulihat wajahnya mendadak merona, mungkin karena malu. Sejak itu aku sering bertemu bahkan bertandang ke rumahnya. Antar jemput sewaktu latihan koor di gereja. Teman-teman mengganggap kami pacaran tetapi jujur belum pernah kami menyatakan cinta secara verbal. Biarlah hubungan ini bertumbuh alami sampai tiba saatnya nanti.
Waktu aku tamat SMA dan harus melanjutkan kuliah ke Surabaya karena Tanteku yang akan membiayai kuliahku di sana. Aku kuliah sambil membantu urusan keluarga Tanteku, dari bersih- bersih rumah sampai momong 2 anaknya yang masih kecil. Sejak itu kami berpisah kota tetapi Wuni memahami pilihanku karena demi masa depan. Mungkin karena kesibukan dan obsesiku agar selesai kuliah secepatnya, hubunganku dengan Wuni tak terpikirkan. Celakanya, setelah aku tamat kuliah dan menyandang gelar Insinyur Teknik Kimia, entah bisikan apa tiba- tiba aku ingin masuk biara, ingin jadi Pastor! Proses pendidikan imamat yang cukup panjang dan kadang membosankan aku jalani. Waktu aku tamat studi Filsafat Teologi, kudengar Wuni menikah dengan teman kuliahnya. Aku turut bahagia walaupun tidak menghadiri. Tetapi pertemuan terakhirku justru ketika aku ditahbiskan. Wuni hadir dengan suaminya. Menyalamiku dengan wajah semringah.
“John, kamu bahagia kan dengan panggilanmu? “, tiba- tiba lamunanku dibuyarkan pertanyaan Wuni.
” Ya, tentu Wuni. Aku bahagia, setidaknya aku tidak merasa menderita dan tersiksa, kalau kamu?,”jawabku agak ragu. Aku tahu jalan hidup Wuni kurang beruntung. Baru tiga tahun menikah dan belum diberi momongan, suami meninggal karena kecelakaan mobil. Aku juga dengar akhir- akhir ini ia menderita sakit walaupun aku tidak berani menanyakan sakit apa.
” Aku bahagia John.Aku menerima apa pun yang terjadi dalam hidupku sebagai kehendak Ilahi.”,jawabnya. Aku tersenyum, memang ia sangat meneladani Bunda Maria. Let it be!
Yang aneh kebetulan aku lagi ada tugas di Yogya lalu tiba- tiba nama Wuni menyeruak dalam benak, bahkan ada dorongan untuk mengunjungi rumahnya. Biasanya aku menuruti saja dorongan intuitif begini tak perlu berpikir panjang.
Kami ngobrol ngalor ngidul, kelihatan Wuni bahagia. Sifatnyu dulu yang ramah, lincah, manja dan sedikit kekanak- kanakan pun tampak. Ketika aku mau pamit, Wuni meminta aku memberkati lalu kubuat tanda salib kecil di dahinya.
Sekali lagi kami berpelukan,
” Doakan aku ya John”,pintanya.
” Pasti, kita saling meneguhkan saling mendoakan”, jawabku mantab. Aku pamitan
Lima hari kemudian, aku dapat kabar Wuni meninggal.Rupanya hampir 2 tahun ia sudah bergelut dengan kanker rahim yang cukup ganas.
Sore ini aku berangkat ke rumah Wuni untuk memimpin Misa peringatan 7 hari meninggalnya. RIP Wuni
Tanah lot, 13 Juni 2024.
Paul Subiyanto