CERPEN: Dokter Lusia

CERPEN: Dokter Lusia

Saat ini ada delapan penghuni panti tempat tetirah bagi para romo yang sudah pensiun karena usia atau menderita penyakit tertentu. Tempat ini terasa nyaman dan tenteram dengan suasana desa yang asri dan alami. Kendati demikian, bagi pastor yang bertahun-tahun berkarya di tengah umat, panti ini kadang juga terasa monoton dan membosankan. Hari Jumat menjadi istimewa dan ditunggu-tunggu karena ada kunjungan sukarelawan yang ramah, Dokter Lusia. Dokter usia 35-an yang ramah dan cantik ini akan memeriksa satu per satu penghuni dan dengan sabar mendengarkan keluhan-keluhan. Bagi para penghuni, sosok Dokter Lusia seperti malaikat yang dikirim Tuhan dari surga.  Benar-benar menjadi penghiburan maka selalu dinanti-nanti kehadirannya.  Setelah pemeriksaan, Dokter Lusia biasanya ikut potus di refter sambil bercanda ria dengan ramah bersama para romo.

     Seminggu ini Romo Bertho kesehatannya menurun sehingga lebih banyak di kamar.  Hanya membaca dan berdoa rutinitasnya.

“Gula darah Romo naik cukup tinggi, 300,” kata Dokter Lusia dengan lembut. Usia Romo Bertho bulan lalu genap 70 tahun. Diabetes Melitus sudah diidapnya selama hampir 15 tahun. Ia termasuk disiplin dengan diet dan olahraga, dan tentu juga rutin minum obat.

“ Kita coba naikkan dosis, semoga tidak sampai injeksi insulin,” bisik Dokter Lusia sambil memegang tangan Romo dengan lembut.

“Minggu depan kita cek lagi.  Tetap semangat dan gembira ya Romo. Itu obat paling manjur”, sambil senyum Dokter pamit keluar.

     Jumat ini Dokter Lusia absen. Kabar yang diterima ia sedang menunggu ibunya yang kritis di rumah sakit, bahkan tiga hari setelahnya terdengar kabar duka bahwa ibundanya telah dipanggil Tuhan. Rasa duka mendalam dirasakan para Romo juga, terutama Romo Bertho yang sudah menantikannya untuk melihat perkembangan kesehatannya. Ah….lebih daripada itu, sesungguhnya sejak pertama kali berjumpa dengannya ada perasaan aneh yang mengusik hatinya. Sepertinya ia pernah mengenal perempuan ini tetapi di mana dan kapan tidak jelas. Dejavu? Tidak! Sebagai imam Katolik ia tidak percaya hal begituan, tetapi intuisinya tidak bisa dibungkam begitu saja.  Ia ingin sekali menanyakan jati diri dokter muda ini tetapi tidak punya keberanian. Dipendamnya perasaan itu dalam hati.

 “Ikut berduka Dokter. Semoga ibunda beristirahat dalam damai bersama Para Kudus di surga”, Romo Bertho mengulurkan tangannya begitu Dokter Lusia masuk kamarnya.

“ Terima kasih Romo”, jawabnya singkat sambil senyum. Matanya tertuju pada foto hitam putih yang  bergantung di dinding kamar.

“ Itu foto siapa Romo?”, tanyanya penasaran.

“ Foto saya sewaktu masih Frater, masih muda ganteng ya hehehe..”, Romo Bertho mencoba memecahkan kebekuan. Agak gemetar Dokter Lusia mengeluarkan foto yang sama dengan ukuran lebih kecil dari dompetnya, lalu ditunjukkan ke Romo.

“Ini foto Romo kan?”, tanyanya sambil agak bergetar. Romo mengamati sebentar lalu mengangguk.

“Dari mana Dokter mendapatkannya?”, tanyanya penasaran. Seingatnya hanya ada satu orang yang menyimpan foto itu.

“ Ibuku… sebelum  meninggal, ibu menyerahkan foto itu dan bercerita banyak tentangnya. Katanya ibu tidak ingin menyimpan rahasia sampai mati”.  Kini Romo Bertho menutup wajah dengan kedua tangannya, ingatannya mengembara ke masa 40 tahun silam dan terdengar menahan isak tangis.

  “ Maukah kamu bercerita tentang ibumu?”, pintanya. Dokter Lusia mengangguk.

  “Kakek mendesak agar ibu memutuskan hubungan secara sepihak dengan Fr. Bertho demi menyelamatkan panggilannya.  Sejak itu Ibu disingkirkan ke kerabat di Jakarta agar bisa berpisah dari Frater.

“Dua tahun aku mencari Ibumu, bahkan aku sudah memutuskan untuk keluar dari biara karena cintaku pada Ibumu tetapi tidak pernah ketemu. Aku hampir gila….” Romo menyela.

   “Akhirnya Ibu dijodohkan dengan seorang pria dan Ibu menerima dengan ikhlas pria itu, lalu lahirlah aku.  Tetapi pada usiaku satu tahun, ayahku kecelakaan mobil dan meninggal. Ibu mengasuh aku sebagai single parent dan tidak pernah cerita apa-apa tentang masa lalunya sampai menjelang akhir hidupnya ketika aku menunggunya beberapa hari di rumah sakit.”

“Asti, maafkan aku. Aku mencintaimu sampai aku putus asa tidak bisa menemukanmu. Akhirnya Pastor Pembimbing memintaku meneruskan panggilanku.  Kuanggap itu bagian dari perjalanan hidupku sebagai imam. Aku selalu menyelipkan doa pribadi pada setiap Misa untuk Ibumu.”

“Romo tidak perlu merasa bersalah. Ibu bahagia ketika tahu Romo tetap di jalan panggilan.”

Dokter Lusia mengulurkan kedua tangan dan memeluk Romo Bertho yang masih sesenggukan.

“Tuhan telah mempertemukan aku dan Romo di tempat ini. Ini amanat Ibu kepada aku untuk menyerahkan foto ini kepada pemiliknya”.  Senyum Dokter Lusia mengembang seindah pagi yang hangat dan cerah. Tanah Lot, Agustus 2021

Paul Subiyanto

Dr.Paulus Subiyanto,M.Hum --Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali ; Penulis buku dan artikel; Owner of Multi-Q School Bal

3 thoughts on “CERPEN: Dokter Lusia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *