Doa Mengikat Jiwa
Videocall masih berlangsung antara seorang bapak, berusia sekitar 55 tahun, dengan anak sulungnya. Si bapak sedang menderita sakit menahun dan berada di Jawa. Si anak bekerja di perusahaan minyak tersohor di dunia. Sementara, saat ini, ia berada di kota lain, berjarak 1830 km dari kediaman bapaknya. Aplikasi canggih, bersemuka melalui dunia maya memang menjadi andalan mereka dalam berkomunikasi. Mereka berbagi rindu dan cerita. Sembari menghadapi penyakit yang menyerang fungsi ginjalnya, si bapak senantiasa menyampaikan prosedur yang telah dilakukan untuk membuang limbah berbahaya dan cairan dari tubuhnya. Upaya maksimal tak juga memulihkan kesehatannya. Penyakit lain pun malah menggerogoti tubuhnya.
“Aku sudah lelah,” sebaris kalimat yang diucapkan bapak itu kepada anaknya. Wajah anak itu nanar kosong ketika mendengar ucapan bapaknya. Sebagai anak sulung dalam keluarga, ia berharap dapat segera meminta cuti dari perusahaan, berkemas dan berangkat menuju tanah Jawa. Apa daya. Kondisi saat ini tak mungkin baginya untuk kembali sekadar bertemu dengan orangtuanya. Epidemi telah menyebar ke berbagai daerah, dan umumnya menjangkiti banyak orang. Demi memangkas perluasannya, pemerintah menutup jalur tranportasi antar pulau bahkan negara dan benua. Penutupan lapangan udara dan pelabuhan laut serta seleksi lalu lintas darat semakin diperketat. Para pengendara tidak diijinkan melanjutkan perjalanan dan harus kembali ke putar balik mengurungkan niat sampai ke tujuan. Bapak dan anak itu terbata. Mereka hanya bisa bersua melalui media digital yang ada. Sang anak sempat berhasrat keras dan nekad bertemu bapaknya. Ia berusaha mencari jalur-jalur yang memungkinkan dirinya kembali ke kampung halaman. Airmata mengalir dari kelopak mata mereka. Bapak dan anak hanya bisa saling meneguhkan melalui doa, mempertemukan ikatan jiwa mereka, dalam pelukan dan rengkuhan bumi dan langit yang menyangga dan memayunginya.***
jos