(3) Reuni Novis 1984/85 : Presence is Present

(3) Reuni Novis 1984/85 : Presence is Present

Reuni selalu membawa kesan. Apa kesan dan makna pertemuan kami eks Novis MSF 1984/85. Catatan ini Ansgarius Hari Padma Wijaya kutip dari teman-teman yang sudah menuliskan kesan dan pesannya, selain yang sudah saya kutip dari Mas Siswantoro.

Gregorius Hendri Gozali

Wacana itu menjadi kenyataan. Itu Karya Roh Kudus. Kedatangan saya yang kepagian merupakan pengalaman berharga. Keinginan kuat bisa bertemu konfrater novis 1984, menjadi penyemangat yang luar biasa. Begitu bisa bertemu konfrater… rasanya hati ini begitu senang. Bisa bercerita banyak pengalaman 38 tahun yang lalu di Novisiat. Terlebih sharing dari konfrater banyak nilai tambah terhadap kehidupan berkeluarga.

Banyak sisi positif yang dapat diambil meskipun kita berlatar belakang yang berbeda baik asal, profesi, pekerjaan, keadaan saat ini. Paling tidak bisa saling melengkapi.

Intinya, banyak hal baru yang saya dapatkan dari reuni kita ini. Semoga kita semua berlimpah berkat dalam mengisi hari-hari hidup ini dari Gusti Allah. Semoga kita diberi umur panjang dan kesehatan yang mumpuni  sehingga bisa ketemu lagi di waktu-waktu mendatang. Amin.

Paulus Subiyanto

Kehadiran (presence) adalah hadiah (present). Aku hadir berarti aku ada untuk kamu. Kehadiran merupakan salah satu dari lima bahasa cinta (Dr. Gary Chapman dalam bukunya Five Languages of Love). Komunikasi digital seperti WA Grup memang mampu mengatasi jarak, namun tetap nir kehadiran, ada yang bolong dalam relasi. Oleh sebab itu kehadiran tetap tak tergantikan, termasuk dalam belajar dan misa daring.

Novisiat bukan sekedar bersama tinggal dalam satu tempat, melainkan hidup bersama selama 8.760 jam penuh. Peristiwa yang sangat jarang dimiliki oleh orang pada umumnya. Ada ikatan batin yang mungkin tidak disadari. Ketika usia masih produktif dan sibuk mengejar ambisi dan cita-cita melalui pergulatan hidup yang berbeda-beda, pengalaman 8.760 jam itu mungkin sekedar kenangan seperti ribuan kenangan lainnya.

Menurut studi neuro science, setiap tahun memori manusia berkurang 50%, namun kenyataan memori 8.760 jam tetap kuat melekat, bahkan beberapa orang masih ingat detilnya. Ini bukti bahwa hidup bersama di novisiat bukan kenangan biasa.

Ketika usia beranjak “tua”, sebagian sudah purna karya, ingatan kolektif 8.760 jam itu mulai bangun, dan dipicu oleh meninggalnya Br. Thomas Kumara, MSF, yang pada saat itu selaku Ekonom Novisiat Wisma Betlehem Salatiga, kesadaran dan dorongan untuk bersemuka- aku hadirsemakin tak terbendung. “Mumpung kita masih utuh” (14 novis, 3 menjadi pastor). Tanpa menghiraukan rintangan dan kendala 12 novis siap hadir. Ada yang dari Bali, Malang, Jakarta Cisarua, Madiun dan Yogya. Dalam usia yang tak muda lagi, rela menempuh perjalanan darat via bis, travel atau kereta api berjam-jam. Saya dari Denpasar dengan Bis berangkat pukul 12.30 WITA sampai Salatiga pk. O4.00 WIB. Hendry dari Malang dengan Travel sampai Salatiga pukul 02.30 WIB. Yang pasti pintu pagar Wisma belum dibuka, ia menunggu hingga pukul 06.00 WIB. Hari Padmo berangkat sehabis kerja dengan travel ke Semarang dan harus bermalam, paginya menuju Salatiga berdua dengan Tinus. Dari Yogya Cris dan Kartono dengan mobil pribadi, tetapi Cris Sabtu malam pukul 12.00 WIB harus kembali karena paginya harus ke Temanggung nikahan ponakan. Sis bersepeda motor sendiri sedangkan Singgih dan Hari Wid membawa Elf dari Madiun agar nanti bisa mengangkut semua ke Semarang.

   Kecapaian dan kelelahan pun sirna ketika satu per satu teman senasib dan sepenanggungan ini bermunculan. Tak pelak lagi, hanya kegembiraan dan suka cita yang ada. Perjumpaan itu sendiri yang paling utama, lalu dibumbui syering pergulatan hidup selepas novisiat dengan penuh canda seolah lupa kalau semua sudah lansia. Tak ketinggalan Romo Fajar berbagi pengalaman seru sebagai misionaris di Papua Nugini dan Texas.

  Makna apa yang didapat? Kehadiran itu sendiri sudah bermanfaat, seolah panggilan jiwa sudah terpenuhi. Perasaan menyatu sebagai “saudara seperguruan” semakin menebal. Kita pernah berjumpa, sekarang berjumpa, semoga nanti masih berjumpa lagi.

Stefanus Kartono sedang berbagi pengalaman

Stefanus Kartono

Tanggal 3 September 2022 bukan pilihanku – aku hanya setuju – padahal aku bertahun-tahun “mengharuskan” diri tidak pergi pas ultah atau ultah istriku –hanya demi merayakan di rumah. Namun, ultah ke-57 kurayakan istimewa bersama para sedulur serumah dulu – di tempat mengaduk-aduk “akar hidup” mulai disadari.

Tiga puluh delapan tahun lalu sama berulang tahun pada malam hari – saat itu membuat kopi susu, snack kecil, sambil nonton dunia dalam berita TVRI. Tempo hari makan malam sembari berulang tahun didoakan dan berkat dari Romo Fajar, ada tepuk tangan para sedulurku.

Yang kutemukan hanyalah yang serba positif, cara pandang positif, pun memaknai hidup secara positif. Banyak sisi pergulatan hidup 11 saudara yang hadir sungguh menakjubkan – sejak meninggalkan pintu biara – realistis harus hidup – membawa luka perih – menjalani karya dengan disalah mengerti orang lain – akhirnya mengandalkan Penyelenggaraan Illahi.

Tak ada reuni yang mengharukan sepanjang hidupku selain reuni 3-4 September 2022 – bukan mempertemukan isi kepala yang ndakik-ndakik, tetapi mengumpulkan banyak hati yang telah diasah oleh kerasnya hidup masing-masing.

Terima kasih, para sedulur – untuk kerelaan panjenengan sejenak meninggalkan segala kenyamanan dan kesibukan yang sebenarnya juga penuh nilai. Nuwun

M. Unggul Prabowo

Penulis lepas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *