Perjumpaan Inspiratif dengan Rama Tjokroatmodjo, Pr
Minggu 18 Februari lalu, siang-siang ada chating dari Braminer Salatiga, Mas Ratmono, sore nanti bisa tidak ketemuan dengan Rama R. Tjokroatmodjo yang datang dari Solo. Beliau ini dulunya juga MSF yang berpindah menjadi imam Praja Keuskupan Agats. Sore itu jadi ketemuan di emperan sekretariat Paroki Paulus Miki Salatiga. Pertemuan yang cukup singkat karena beliau ada agenda lain bersama umat, yang memang sudah ada janji terlebih dahulu.
Janji ketemu lagi di pagi hari berikutnya di rumah Fren Bergaya Muda, pensiunan dari Gramedia Grup, Ratmono, yang berdomisili di Jetis, Salatiga. Ngeteh sambil nyemil pisang goreng, berkisah mengenai masa lalu bersama-sama dalam biara dengan aneka dinamikanya. Ada yang lucu, tragis, ataupun memilukan. Tidak merusak suasana.
Teh habis, hadirlah kopi, yang sungguh nikmat, tidak merusak suasana yang mulai memanas. Kisah-kisah lucu zaman Rama Tjokro di Berthinianum, ataupun Novisiat, yang sungguh berbeda. Panggilan tertunda yang Pater Berthier impikan itu betul-betul Frater Tjokro alami, bersama-sama senior satu angkatan yang memang benar-benar sepuh, terlambat dalam menapaki panggilan itu mendapatkan penanganan dan pembinaan yang berbeda.
Ada guru, karyawan, dan pegawai, jelas akan berbeda membina, membentuk, dan mengarahkan mereka dengan yang baru lulus SMA. Formatio yang ideal bagi mereka. Sangat longgar tidak biasanya sebagaimana Seminari Menengah sebagaimana Mertoyudan, termasuk ada yang merokok.
Papua dan Misi Domestik Relatif Berat
Rama Tjokro banyak berkisah, bagaimana bermisi di Agats, bagian utuh dari Nusantara, namun tantangan alam dan sumber daya manusianya sangat lah berat. Bagaimana beay turne yang bisa menghabiskan kurang lebih tiga juta rupiah itu, di tengah keterbatasan umatnya, mereka, para imam ini harus kreatif. Belum lagi jika bicara mengenai juru mudi yang harus meninggalkan keluarganya beberapa hari.
Bisa dibayangkan, bagaimana beratnya perjuangan pelayanan itu, belum lagi alam rimba yang masih perawan, perahu yang berkalang bahaya, buaya, atau kayu yang hanyut dan bisa memecahkan atau membalikkan perahu. Sama sekali tidak bisa tidur dalam perjalanan, sebagaimana para pelayan di Jawa khususnya.
Mengerti, Memahami, dan Menerima
Pendidikan di Jawa, Kentungan khususnya, dan melayani umat yang masih perlu perjuangan besar untuk hidup tidak mudah, Rama Tjokro memberikan contoh, bagaimana kata solider itu harus dibahasa ulangkan sehingga mereka mudah menangkap dengan kemampuan mereka. Hal yang tidak mudah bagi pelayan yang tidak siap.
Belum lagi jika bicara fasilitas, kesempatan untuk sekadar ngaso atau belajar lagi. Sepanjang harus berbagi, pun kudu juga menimba, biar tidak kehabisa energi atau stok. Itu adalah keprihatinan yang masih perlu dipikirkan dan dicarikan solusinya.
Karya Roh yang membuat itu semua bisa terjadi dan terlaksana. Melayani dan juga perlu memikirkan kelangsungan hidup sebagai manusia utuh. Sangat mungkin itu tidak terpikirkan bagi para imam yang berkarya di Jawa, kota-kota besar pada umumnya.
Salam JMJ
Woooo … Ternyata muncul juga sebuah tulisan yang sangat menarik untuk disimak sembari ngeteh dan ngemil. Kira-kira akan muncul berapa tulisan tentang pertemuan dengan Tomo Cokro mas, biar lebih puas ngebacanya.
siji iki ae, lha telat suweee je