FIKSI: Air Mata Usai Misa
Seperti biasa, usai komuni anak-anak berbaris maju untuk menerima berkat di dahi dari Romo. Polos dan ceria. Setiap menyaksikan ritual ini, Reni tak mampu menahan desakan airmata, dan ia pun cepat-cepat keluar menuju kamar mandi. Menangis. Perempuan paruh baya ini sudah lama merindukan saat-saat seperti itu: betapa indahnya membayangkan dirinya menggandeng cucu berada dalam antrian itu. Ah…itu mustahil! Reni menuju Gua Maria di pojok kebun belakang gereja untuk menumpahkan semua beban perasaannya kepada Bunda yang selalu tersenyum manis dengan tangan terbuka. Lega.
Suaminya meninggal ketika putri semata wayangnya, Lusia, masih berusia lima tahun. Ia ingin Lusia tumbuh dalam lingkungan kekatolikan maka sejak kecil sudah diikutkan kegiatan sekolah minggu, misdinar, legio, juga Orang Muda Katolik sejak remaja belia. Reni benar-benar merasakan kebaikan Tuhan ketika mendampingi putri cantiknya tumbuh dengan nilai-nilai kristiani yang kuat. Perjuangannya sebagai single parent tidak sia-sia. Ah…. kebahagiaan ini akan sempurna jika nantinya Lusia bisa menikah dengan seorang pemuda Katolik dan memberinya cucu manis. Imajinasi melantur membayangkan ia menuntun cucu antre untuk mendapatkan berkat imam menjadi impian yang ia rindukan. Ya, pasti indah pada waktunya.
Hamparan kebahagiaan itu tiba-tiba terkoyak oleh pengakuan Lusia yang masih kuliah semester tiga bahwa dirinya hamil. Dan seperti tombak tertancam di ulu hati ketika tahu bahwa pria yang menghamili putrinya berbeda iman. Tidak! Rasa marah, kecewa, dan sedih seperti puting beliung yang memutar tubuhnya dan melemparkan ke jurang yang paling dalam. Gelap. Lusia sadar telah membuat ibunya terhempas dan kandas. Harapannya hancur berkeping. Bercampur rasa bersalah dan ketakutan yang melilit, Lusia harus mengambil keputusan sendiri pada saat hidupnya juga jatuh ke titik nadir, justru pada saat ia membutuhkan topangan kepada satu-satunya orang yang selama ini bisa diandalkan, ibunya. Kesalahannya seakan tak sebanding dengan kehilangan ibunya. Dua perempuan itu sama-sama limbung. Ibu…maafkan anakmu telah melukai hatimu tetapi aku harus tetap melangkah dan bertanggungjawab dengan risiko perbuatanku. Reni masih membeku dengan kekecewaan dan kemarahannya sementara Lusia meninggalkan rumah dengan langkah gontai.
Tersadar, Reni merasakan sepi yang mencekam. Sendiri. Rumah yang dulunya seakan tak muat untuk berdua itu pun terasa kosong melompong. Hampa. Putrinya telah pergi entah kemana. Ada sesal yang dalam mengapa ia tak mampu mengontrol diri sehingga putrinya ketakutan dan lari dari rumah. Hidup sudah tak ada gunanya karena orang-orang yang dicintai meninggalkan dirinya dengan cara yang menyakitkan. Suami tercinta meninggal karena kecelakaan pada saat puncak kebahagiaan hidup berkeluarga sedang direguk. Kini, satu-satunya tumpuan harapan pun lenyap. Tuhan, apa salahku sehingga Kau lucuti kebahagiaanku? Ambil saja sekalian hidupku yang berguna itu, aku tidak kuat menanggungnya. Untuk apa lagi hidupku? Mana rasa keadilan-Mu? Mana belaskasih-Mu? Berontak. Letih.
Bangkit dari keterpurukan dengan tertatih, menepis rasa kecewa dan malu dengan apa kata orang, Reni berusaha berdiri tegar dan menapaki sisa perjalanan hidupnya. Rasa cintanya perlahan dibersihkan dari sifat-sifat posesif yang melekat sehingga tumbuhlah benih pengampunan yang menyembuhkan dan melegakan. Semua kepahitan hidup dimaknai sebagai jalan yang direstui Allah dan ia harus ikhlas dan berserah diri. Doa-doa tak pernah henti untuk keselamatan putrinya di mana pun ia sekarang berada. “ Ibu menunggumu Nak, sampai kapan pun, seperti apa pun kamu”, bisik hatinya setiap kali habis doa pagi. Tetapi satu hal yang ia belum bisa mengatasi perasaannya: menyaksikan anak-anak menerima berkat imam di dahi seusuai komuni. Salahkah aku Tuhan kalau masih menyimpan damba yang satu ini? Semakin ia mencoba mengingkarinya semakin deras air mata yang tertumpah.
Sudah lima tahun semenjak putrinya pergi. Hari MInggu ini bertepatan dengan ulang tahun Lusia yang ke-24 tahun. Seperti biasa usai Misa ia menghadap Bundanya, ia mohon agar tetap mau menjaga putrinya. Ia mohon agar diberi penghiburan untuk mengobati kerinduan yang sangat dalam kepada putrinya. Bubaran umat sudah surut dan ia pun beringsut. Ia ingat harus mampir ke toko roti membeli kue tart kecil dan beberapa jajanan. Ia sengaja memesan lilin angka 5 sebagai tanda tahun kelima sejak kepergian Lusia, bukan usianya. Seperti biasa nanti di rumah ia akan tiup lilin dan menyanyi sendiri, lalu berdoa. Setelah itu, kue-kue akan dibagikan ke anak-anak tetangga sekitar. Ada seberkas rasa bahagia dan damai menyelinap di lubuk hatinya. Ada senandung kecil mengalir dari bibirnya:
“Betapa hatiku, berterimakasih Tuhan….Hanya ini Tuhan persembahanku…”
Langkahnya terhenti, ada desiran halus di hati ketika melihat pintu rumahnya terbuka. Tetapi ia ingat memang sejak Lusia pergi ia tak pernah mengunci pintu, hanya menutupnya. Ada harapan suatu saat anaknya akan pulang/
Namun begitu memasuki rumah, ia tak percaya dengan penglihatannya dan terpaku membisu ketika sesosok perempuan menyongsong, mendekap dan memeluknya sambil berurai air mata. Hening. Hanya suara isak dua wanita yang seolah tak mau melepaskan pelukan setelah seribu tahun terpisah, sementara seorang laki-laki dewasa dan gadis kecil di sampingnya hanya terpana sambil mengusap air mata. Setelah mereka berbicara dalam bahasa cinta yang diam, suara Lusia memecah keheningan.
“ Kami semua kangen Ibu”, katanya datar. Reni mengangguk sambil mengusap airmata.
“Ini Renjana, cucu Ibu dan Mas Bayu, menantu itu”, Lusia memperkenalkan. Empat orang kembali berpelukan. Ada air mata bahagia.
Akhirnya Lusia menjelaskan bahwa sudah ada kesepakatan dengan suaminya jika lima tahun ia tak mampu menyesuaikan dengan imannya yang baru, ia boleh kembali ke imannya sendiri. Namun mereka memilih tetap mempertahankan cinta, dengan saling menerima perbedaan iman. Dan segera mempersiapkan dan mengurus keperluan pembaharuan perkawinan secara Katolik.
“Bukankah dari iman, harapan, dan kasih, Kasih lah yang paling utama Bu?”, sergah Lusia.
Senyum Reni mengembang selebar tangannya menyongsong cucu mungilnya dalam dekapan.
Syukur bagimu Tuhan, terimakasih Bunda!
“Boleh nanti aku dampingi cucu cantikku ini menerima berkat?”, tanya Reni.
Lusia mengangguk dan tersenyum.