Beda Zaman

Beda Zaman

Aku pernah mendengar cerita. Konon kabarnya, zaman dahulu kala ada seorang tokoh yang mewartakan berita bagi orang di sekitarnya. Ia adalah anak Elisabeth dan Zakharia. Namanya, Yohanes. Yohanes disimbolkan sebagai pertapa. Ia mengenakan pakaian dari bulu unta, memakai ikat pinggang kulit dan menyantap makanan berupa belalang dan madu rimba. Tak kalah heboh, ia kerapkali  melantangkan suara, memecah keheningan di padang gurun, daerah yang sepi dan tak bertuan. Ironis!

Figur Yohanes mengantarkan  pandanganku pada seorang perempuan era mileneal. Ia biasa berdiri di seberang jalan, tepat berhadapan dengan tempat di mana aku bekerja. Aku melihatnya dari gedung lantai tiga. Perempuan itu berdandan modis dan chique alias chic, dan casual identik dengan kaos, celana jeans, sandal atau bahkan sneakers.Ia terlihat kerap mondar-mandir berjalan pelan atau berlari-lari kecil atau hanya duduk di bawah pohon di trotoar jalan. 

Pendengaranku menangkap seruannya. Ia berkata-kata dengan berbagai tema. Tak begitu jelas apa pesan yang ingin disampaikannya. Penglihatanku malah menyorot apa yang dibawa ketika ia lantang bersuara. Tangan kiri menempelkan handphone android pada telinga dan tangan kanan menggenggam batu, atau sebaliknya. Yohanes dan perempuan itu sama-sama menyuarakan kisahnya. Zaman yang memisahkan mereka.***

C. IsmulCokro

C. IsmulCokro (CB. Ismulyadi), tinggal Sleman. Pernah studi di Fak Teologi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (Fakultas Teologi Wedha Bhakti) dan Ilmu Religi Budaya USD. Sampai saat ini masih berkarya sebagai ASN. Giat dalam dunia penulisan sebagai writerpreneur, editor freelance, redaksi salah satu tabloid dan memotivasi berbagai kalangan yang akan berproses menulis dan menerbitkannya. Email: cokroismul@gmail.com. FB. Carolus ismulcokro

One thought on “Beda Zaman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *