Komunikasi: IQ VS. EQ
Saya mengharapkan perkawinan yang bahagia, namun kenyataannya saya justru menghadapi banyak konflik dan ketegangan yang semakin melelahkan. Saya sudah berusaha berkomunikasi namun setiap pembicaraan justru berakhir dengan pertengkaran dan saling menyakiti. Bagaimana cara mengatasinya ?
Benar bahwa relasi suami istri dibangun atas dasar komunikasi yang berkualitas (bukan sekedar basa-basi). Namun demikian komunikasi antara suami dan istri sangat berbeda dari komunikasi pada umumnya, yang hanya berfokus pada penyampaian dan penerimaan informasi yang efektif. Komunikasi semacam ini hanya mengandalkan IQ sehingga orang bisa berbicara dengan jelas dan mudah dimengerti. Sebaliknya komunikasi suami-istri tidak cukup hanya mengandalkan IQ, melainkan melibatkan EQ (Kecerdasan Emosional). Ambil contoh, mengapa sewaktu pacaran atau masa awal perkawinan, rasanya komunikasi begitu sangat mudah? Ya karena mereka melibatkan faktor emosional dalam berkomunikasi sehingga semua hal terasa mudah. Komunikasi EQ melibatkan kemampuan mendengarkan dan memahami hal-hal yang tak terucap. Misalnya seorang istri menyampaikan kepada suami, “Pa, enaknya tetangga sebelah kita sekarang sedang berlibur ke luar negeri?” Jika si suami menjawab dengan IQ nya, “ Oh ya, saya tahu persis mereka memang hobi sekali dengan traveling” bisa dipastikan si istri akan kecewa karena sebenarnya yang tersirat dalam ujaran tersebut adalah “ Pa, saya juga ingin sekali jalan-jalan ke luar negeri”. Oleh sebab itu, komunikasi EQ sangat membutuhkan kemampuan mendengarkan dan memahami tanda-tanda, termasuk ekspresi fisik dari mitra bicara. Pendengar yang baik harus mampu menahan diri untuk segera merespon atau bereaksi dengan cepat, apalagi membela diri. Sekali lagi fokus bukan pada kata-kata yang terucap melainkan maksud tersembuyi di balik kata-kata.
Mengapa pasangan tidak terus terang? Sesungguhnya ketika kita berhubungan dengan orang lain, kita selalu memakai topeng-topeng tertentu agar bisa menyenangkan dan diterima karena pada dasarnya kita takut ditolak. Demikian pula dalam berkomunikasi, berterus terang berisiko akan mendaat penolakan atau perdebatan, maka Anda dan pasangan pun mengenakan berlapis-lapis topeng, dan takut untuk menampilkan diri apa adanya karena takut dinilai dan ditolak. Untuk hubungan-hubungan yang sifatnya sementara atau fungsional, berbasa basi tidak jadi masalah dan sangat diperlukan karena kita tak perlu “telanjang bulat” sejujur-jujurnya di hadapan setiap orang. Namun demikian, dalam hubungan suami istri yang begitu intensif setiap hari kita berjumpa dan bergulat dengan berbagai persoalan, topeng-topeng itu dengan sendirinya akan tersingkap. Orang tak bisa menyembunyikan diri lagi di balik topeng sebagaimana sewaktu pacaraan dulu. Jika suami istri berani saling telanjang bulat secara fisik dan membiarkan organ-organ yang paling rahasia dan tersembunyi ( yang tidak setiap orang boleh melihat ) boleh dilihat dan disentuh, maka demikian halnya semestinya mereka pun berani telanjang bulat secara emosional, artinya mengungkapkan diri apa adanya dengan membuka topeng yang selama ini dikenakan. Komunikasi EQ menuntut pembicara berani mengungkapkan apa adanya, namun pendengar pun berani masuk lebih dalam ke ranah emosional yang belum terungkap.
Ketika komunikasi macet dan hubungan terganggu orang merasa “pasanganku sekarang berubah”, padahal tak ada yang berubah justru pasangan Anda sedang membuka topengnya dan Anda belum siap menerima karena masih terpaku pada gambaran yang Anda idamkan. Bisa jadi hal yang sama juga sedang terjadi pada pasangan Anda, ia kecewa dengan diri Anda dan merasa Anda sudah tidak seperti dulu lagi. Bisa dimengerti jika relasi Anda dan pasangan penuh dengan konflik dan ketegangan karena Anda berdua sedang memasuki masa kekecewaan. Berhadapan dengan krisis relasi semacam ini, ada beberapa reaksi yang mungkin terjadi. Ada yang melarikan diri seperti Anda dengan ke diskotik, alkohol, kerja, hobi, dll. Ada yang menutup mata pura-pura tidak terjadi apa-apa, dengan masing-masing menempuh jalannya sendiri. Ada yang menekan dan menutupi karena takut ribut atau takut citranya jatuh. Semuanya berakibat sama: semakin menjauhkan diri satu sama lain sampai akhirnya perkawinan hanya sekedar rutinitas dan mempertahankan status namun kehilangan hakikatnya sebagai wahana untuk saling menyatukan diri.
Jalan terbaik dalam menghadapi krisis kekecewaan ini adalah dengan secara sadar dan sengaja mempercepat proses penanggalan topeng ini melalui komunikasi yang konstruktif yang berbasis EQ. Artinya , suami istri mesti belajar saling mengungkapkan dan menerima perasaan-perasaan terdalam ( khususnya yang negatif) sehingga masing-masing merasa diterima dan dihargai. Gambaran dan harapan tentang pasangan sudah saatnya ditinggalkan, dan diganti dengan kesediaan menerima pasangan sebagaimana adanya. Buanglah juga keinginan dan usaha untuk mengubah pasangan menjadi seperti apa yang Anda inginkan, karena bukan hanya sia-sia tetapi mustahil dan hanya menambah kekecewaan. Ingat kembali komitmen Anda untuk tetap memprioritaskan hubungan di atas kepentingan –kepentingan yang lain. Akhirnya, ubahlah cara pandang Anda bahwa krisis ini bukan ancaman terhadap hubungan melainkan peluang untuk lebih mengenal pasangan lebih dalam., kesempatan untuk belajar cara baru berkomunikasi.
Hubungan yang bermakna terjadi ketika kita bisa menampilkan diri apa adanya dengan kelebihan dan kekurangan namun pasangan tetap menerima seutuhnya. Hal ini hanya m ungkin terjadi bila pasutri berani saling membuka diri, dan tak henti untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Dalam hubungan semacam ini, akan lahir keintiman dan kehangatan yang tulus. Berpikirlah apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki hubungan, apa yang bisa saya ubah dalam diri saya agar hubungan menjadi lebih baik, bukan sebaliknya apa yang bisa saya dapatkan dan mengapa pasanganku tidak mau berubah.