Menyeberangi Laut Merah di Malam Gelap
Oleh: ST Kartono
Grup WA PBMN 20 Januari 2021: Para Sedulur PBMN, selamat malam. Selepas senja tadi istri saya telah menyelesaikan kontrol/cek pascaCovid di RSPR. Puji Tuhan, setelah menempuh gejalaterapiisolasi koreksi komorbid selama 23 hari, dokter menyatakan istri saya telah sembuh, tidak perlu tes atau rontgen lagi. Dengan satu pesan: tetap hatihati agar tidak terjangkit lagi. Terima kasih untuk doa dan perhatian Panjenengan semua untuk kami.
Begitulah saya berani berkabar kepada para sedulur PBMN, sejatinya dua puluh hari sebelumnya saya dalam situasi tercekam yang tak terumuskan. Saya tak berkabar kepada siapa pun. Ketika Covid-19 sedang di puncak keganasan, justru istri saya mengalami terjangkit. Jika sudah masuk rumah sakit –lazimnya saat itu pasien akan diisolasi sendiri dengan berbagai penanganan standar. Siapapun di dekat pasien potensial terjangkit, maka perlu dijauhkan.
Namun, saat istri harus masuk IGD-infeksius khusus Covid hingga isolasi, saya sepenuhnya menemani di ruangannya itu. Bahkan, aturan tertulis di sana, jika sudah masuk ruang isolasi, penjaga pasien tidak boleh berinteraksi dengan orang luar. Dengan sengaja saya ingin menemaninya. Saya ingin membesarkan hatinya. Saya ingin meyakinkannya, saya tetap berada di dekatnya. Bahkan sepanjang waktu, muka ini harus terbebat masker – hingga daun telinga ini memar bengkak akibat cantolan tali masker.
Empat selang infus selalu tertancap di kedua tangan istriku – empat antivirus hingga pencegah komorbidnya mengalir deras, agar tidak memperparah. Dan, situasi paling buruk pun perlahan menyingkir, hingga dokter mengizinkan isolasi di rumah, hingga empat belas hari kemudian dinyatakan sembuh.
Pada tiga bulan awal Covid melanda – justru putri bungsu yang terlebih dahulu mengalami. Tugasnya sebagai wartawan sangat rentan terpapar. Ketika malam itu berkabar badannya tak nyaman – lantas esoknya berinisiatif periksa rontgen ke satu klinik di kota kecil tempatnya bekerja, hati saya sudah tratapan.
“Apa aku pernah paru-paru basah, kok ada titik putih di sudut paruku?” – itulah biang Covid yang merembet ke sekujur paru. Gejala demikian, saat itu, hampir pasti tak tertolong. Mekanisme pengobatan dan penanggulangan Covid di seluruh negara belum tertata, alias masih semrawut. Putriku bergegas ke dokter khusus paru – meminta antibiotik paling ampuh. Situasi itu bersamaan di malam Paskah – terpisah dengan anak yang berjuang melawan Covid sendirian di kamar kos tanpa bisa disambangi atau bertemu langsung. Mengikuti misa secara daring pun tak tenang. Ketika Kardinal Suharyo berkotbah, bahwa bacaan Kitab Keluaran 14 di malam Paskah tidak boleh diganti – itulah kisah umat Israel menyeberangi Laut Merah di malam gelap. Air mata ini berleleran seolah menyamakan diriku dengan umat Israel…
Sekian bulan kemudian, putri sulung yang karena pekerjaannya mesti berkeliling ke berbagai wilayah pun positif Covid, setelah mendarat di satu kota dan periksa di laborat. Rasa was-was masih berlanjut. Duuh, istri dan kedua anakku mengalami berada di tubir ketidakpastian. Ingin tampak tegar ketika menemani mereka – tapi luruh juga ketika berulang-ulang bersenandung lagunya Romo FA Martana – Ku Menghadap Allah Sang Mahacinta – air mata berleleran… Untuk melewati situasi demikian, hanya ada satu frasa yang terbawa, yakni pasrah dan percaya kepada-Nya.
Di Grup WA Paseduluran Brayat Minulya pun saya hanya bisa menulis: “Matur nuwun, para Kangmas & Dimas… terima kasih doadoa Panjenengan menguatkan kami “menyeberangi Laut Merah di malam gelap”. Nuwun…
Klaseman, Februari 2023