Memahami Kebutuhan Dasar Anak

Memahami Kebutuhan Dasar Anak

Saya seorang ibu dengan satu anak berusia 4 tahun. Sebagai orang tua saya juga ingin  memberikan yang terbaik kepada anak agar ia bisa bertumbuh kembang dengan baik pula.  Namun demikian banyak contoh orang tua yang baik pun belum menjamin anak-anaknya akan tumbuh dengan baik karena pengaruh lingkungan dan pergaulan. Apa sebenarnya yang dibutuhkan anak? 

     Selain kebutuhan jasmani seperti asupan gizi yang baik serta fasilitas seperti pendidikan formal, anak juga memiliki kebutuhan emosional yang harus Anda penuhi sendiri karena tidak bisa dibeli dan gantikan. Berikut ini 4 kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan anak:

  • Butuh Diakui 

        Selain memiliki kelebihan, setiap anak juga memiliki kekurangan dan masalahnya sendiri.  Barangkali salah satu alasan mengapa Tuhan mau menitipkan anak-anakNya kepada kita (orangtua)  juga karena alasan ini: agar kita menolong anak-anak kita bagaimana mengatasi  masalah dan keterbatasannya sendiri.  Jadi, semakin banyak kekurangan yang dimiliki seorang anak sesungguhnya  semakin besar kepercayaan Tuhan kepada kita.  Namun kita sering meminta dan berharap agar mendapat anak yang sempurna, “sudah jadi” dan “tinggal pakai” sehingga bisa menyenangkan dan membahagiakan orangtua.  Ungkapan kekecewaan sering kita dengar ketika  berbincang-bincang dengan orangtua seperti “ anak saya ini malas sekali”, “ anak saya nakal “, “ berani sama orangtua”, “ tidak bisa ini dan itu”.  Singkatnya, lebih banyak hal-hal negatif yang dilihat pada diri anak daripada hal-hal positif  yang pasti juga dimiliki oleh setiap anak.  Orangtua seringkali tidak mengakui dan menerima anaknya sebagaimana adanya secara utuh.  Orangtua menerima anaknya dengan syarat( conditional)  padahal yang didambakan  setiap anak adalah penerimaan dan pengakuan tanpa syarat (unconditional). Anak ingin diakui apa adanya, bukan karena kelebihannya tetapi seutuhnya. Apa pun keadaan anak tidak mempengaruhi cinta orang tua kepadanya padahal kalau kita mau sedikit rendah hati justru bisa “berguru” pada anak bagaimana mereka menerima orangtuanya apa adanya. Jarang sekali  kita mendengar anak yang protes “ mengapa saya  memiliki orangtua  yang tidak pandai ”, “tidak kaya”, atau ”tidak tampan atau cantik” sebagaimana orangtua sering mengingkari keterbatasan anak-anaknya.  Anak-anak memang protes ketika orangtua  memperlakukan  dirinya tidak sebagaimana mestinya  sebagai anak yang butuh pengakuan ada adanya, namun bukan  karena keterbatasan-keterbatasan kita sebagai orangtua.

               Anak-anak adalah cermin yang memantulkan setiap hal yang kita perlakukan kepadanya.  Jika kita mengakui keterbatasannya, maka mereka pun bisa mengakui bahwa

orangtua pun memiliki keterbatasan.  Maka, ketika kita kecewa karena perilaku anak kita, jangan terburu menyalahkannya.  Bercerminlah ! Karena besar kemungkinan seperti itu pula yang  kita perlakukan kepada anak.  Anak yang berteriak ketika marah biasanya juga karena sering diteraki oleh orangtuanya. Sebaliknya, anak yang bisa menghormati dan bersikap santun kepada orang lain juga karena merasa sudah biasa diperlakukan secara sopan dan halus oleh orangtuanya.  Anak-anak adalah cermin perlakuan kita terhadapnya, jadikan ini sebagai media belajar untuk memperbaiki  diri dalam menjadi orangtua.

  • Butuh Didengarkan

Ketrampilan utama yang mesti  dimiliki orangtua yang mau belajar  adalah mendengarkan.  Menjadi orangtua yang baik berarti belajar mendengarkan anak. Ini kedengaran aneh karena yang biasa terjadi adalah orangtua menuntut anaknya untuk mendengarkan. Coba ingat kapan terakhir anda mendengarkan anak anda ! Membiarkan anak mengungkapkan perasaan dan pikirannya tanpa merasa takut ditolak dan dinilai oleh orangtuanya akan membangun kepercayaan sebagai fondasi bagi hubungan yang kokoh antara anak dan orangtua.   Ketika anak-anak masih kecil mungkin  masalah komunikasi dan relasi belum terasa sulit karena orangtua masih bisa memegang kendali dengan otoritasnya.  Namun masalah-masalah besar  yang melibatkan remaja biasanya bersumber dari komunikasi dan relasinya dengan orangtua yang tidak beres.  Oleh sebab itu, mendengarkan sebagai ketrampilan tersulit dalam komunikasi mesti dilatih sejak anak-anak masih kecil agar orangtua tidak menyimpan bom waktu.

Anak-anak akan tumbuh penuh percaya diri jika mereka merasa didengarkan oleh orangtuanya.  Pada gilirannya, anak-anak pun akan belajar mendengarkan orangtuanya.  Tak ada lagi keluhan umum orangtua seperti “ anak saya suka membantah”, “ sulit dimengerti”, “susah diatur”.  Bagaimana mungkin orangtua bisa mengenal dan memahami siapa anaknya kalau ia tak pernah mau mendengarkannya ?  Bagaimana mungkin orangtua bisa membahagiakan anaknya kalau ia tidak memahami apa yang dibutuhkan anaknya? Bagaimana mungkin orangtua bisa menolong anaknya dalam kesulitan kalau ia tidak tahu apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan anaknya? Anak-anak yang terpenuhi kebutuhan emnosionalnya untuk didengarkan akan menjadi oranag-orang yang juga mampu mendengarkan.  Mengubah rutinitas bertanya kepada anak sepulang sekolah  dari “ Kamu dapat nilai berapa?” menjadi  “: Bagaimana perasaanmu di sekolah tadi?” akan membuka jalan bagi tumbuhnya kebiasaan saling mendengarkan antara orangtua dan anak. 

  • Butuh Kehadiran

          Sebagian besar anak jaman sekarang memilikim orangtua ( ayah dan ibu, atau orangtua tungal)  yang bekerja diluar rumah sehingga waktu kebersamaan mereka dengan anak-anaknya sangat terbatas.  Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk sekolah atau tempat-tempat kursus, atau di rumah bersama pengasuh dan televisi.  Memang masih ada juga orangtua, khususnya ibu, yang memilih tingal di rumah, entah sepenuhnya mengurus rumah tangga  atau sambil berbisnis di rumah, sehingga memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anaknya.  Namun demikian, dari pengamatan saya terhadap anak-anak prasekolah, ada kecenderungan anak-anak yang ditunggui ibunya sepanjuang hari justru kurang mandiri dan  lebih reaktif.  Anak-anak memang membutuhkan waktu kehadiran dari orangtuanya, namun bukan sekedar “bersama” sambil mengerjakan hal-hal lainnya.  Memberikan waktu atau hadir untuk anak-anak berarti orangtua mau memberi prioritas untuk anak.  Anak-anak merasakan bahwa dirinya penting dan berharga di mata orangtuanya dibanding hal-hal yang lain, termasuk urusan bisnisnya.  Pengalaman saya di sekolah, hanya setahun sekali orangtua diharapkan hadir sendiri untuk mengambil rapor anaknya saja pun masih banyak yang diwakilkan ke pegawai atau pembantunya, dengan alasan klise: sibuk !    

      Pada umumnya anak-anak mau mengerti dan memahami bahwa orangtuanya harus bekerja dan tidak bisa mendampinginya terus-menerus kendati mereka sangat mendambakannya  Coba ikut merasakan bagaimana perasaan seorang anak kecil yang seharian ditinggal ayah ibunya: takut, kangen, kesepian, sedih, pasti campur aduk.  Namun anak tersebut berusaha mengatasi perasaannya dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang tidak sesuai dengan  keinginannya. Tragisnya lagi, ketika orangtuanya datang, bukan empati yang diberikan namun tuntutan agar anaknya bisa menyenangkan hati orangtua yang sudah lelah bekerja, tidak boleh rewel, tidak boleh nakal.  Pengorbanan dan pengertian anak terhadap orangtua semestinya diimbangi dengan pemahaman bahwa anak-anak sangat membutuh kehadiran orangtua .  Anak-anak menginginkan pada saat-saat tertentu orangtua mau memberi prioritas untuk dirinya.  Bagi orangtua yang bekerja, berikan waktu yang sangat  terbatas itu sebagai kesempatan untuk berbagi perasaan dengan anak, lebih mendekatkan diri dengan  anak secara emosional.  Anak-anak yang merasa dimengerti akan mengerti pula kondisi orangtuanya.

  • Butuh Kebebasan

            Sesungguhnya anak-anak dilahirkan di dunia ini untuk menjadi dirinya sendiri karena mereka sudah dibekali dengan  potensi dan keunggulan yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Tugas orangtua adalah menolong mereka agar potensi  itu bisa tumbuh dan berkembang.  Anak-anak terlahir sebagai yang sudah “sempurna”, tak perlu diubah dan dibenahi.  Tugas orangtua bukan membentuk, membereskan ,dan membetulkan  anak agar sesuai dengan yang diinginkannya.  Namun demikian, anak-anak bukan malaikat kecil yang tidak bisa salah, tak bisa nakal, tidak memiliki perasaan negatif.  Proses tumbuhkembang selalu bersifat jatuh – bangun ( trial and error)   , biarlah mereka melakukan kesalahan dan belajar darinya, biarlah  mereka mengalami perasaan negatif dan belajar mengendalikannya.  Orangtua seringkali berusaha mengendalikan anaknya, padahal seharusnya anak-anak harus diajari bagaimana mengendalikan dirinya sendiri.   Ketika anak mengalami rasa marah, orangtua langsung mencoba mengendalikannya dengan menghakimi “ marah itu tidak baik, harus jadi anak yang manis dan penurut”.  Rasa marah dan perasaan negatif lainnya adalah manusiawi dan bermanfaat, biarlah anak-anak mengalaminya dan belajar bagaimana mengungkapkan dan mengatasinya secara konstruktif.   Biarlah anak-anak belajar menjadi dirinya sendiri  karena  dengan demikian mereka bisa memilih dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.  Menjadi diri sendiri berarti melatih anak bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi kewajibannya.  Orangtua tidak perlu mengambilalih apa yang seharusnya dilakukan anak, termasuk kesulitan yang dihadapi anak.  Biarlah anak-anak belajar mengatasi masalah sebagai persiapan hidup yang sesungguhnya.

Paul Subiyanto

Dr.Paulus Subiyanto,M.Hum --Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali ; Penulis buku dan artikel; Owner of Multi-Q School Bal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *