APAKAH MENJADI KATOLIK HARGA MATI?
Pak Petrus ( bukan nama sebenarnya) adalah seorang aktivis paroki bahkan juga sebagai Prodiakon yang membantu Pastor dalam pelayanan sakramen dan ibadat. Tak heran ia menjadi tokoh dan panutan umat. Ia berusaha hidup seturut ajaran Katolik terutama dalam mendidik anak-anaknya, diikutkan kegiatan Putar Altar dan Sekami sejak kecil, ikut OMK setelah remaja dan berbagai kegiatan yang diselenggarakan gereja . Anak-anaknya dimasukkan ke Sekolah Katolik walaupun jaraknya jauh dari rumah dan perlu tambahan biaya lebih jika dibandingkan dengan sekolah negeri. Pak Petrus dan istri mencoba melakukan tanggung-jawab dan kewajibannya sebagai orangtua Katolik dengan sebaik-baiknya. Namun apa daya, langit seakan runtuh ketika anak sulungnya yang sudah dewasa menyampaikan keinginannya untuk menjadi mualaf karena akan menikah dengan calon pasangannya yang muslim. Walaupun Pak Petrus kekeh melarang, anaknya tetap nekat lari dari rumah dan menikah secara Islam sekaligus menjadi mualaf. Kejadian ini benar-benar memukul jiwanya (bahkan iman)sehingga Pak Petrus sejak itu ia mengundurkan diri dari semua aktivitas menggereja. Ia merasa tidak pantas dan bersalah bahkan gagal sebagai orangtua Katolik, apalagi untuk melayani sakramen suci. Pak Petrus “mutung” ( patah semangat) dengan berbagai perasaan campur aduk: kecewa, malu, marah bahkan protes kepada Tuhan mengapa ia harus mengalami kenyataan pahit seperti ini. Ada yang lebih mendalam dari itu semua, Pak Petrus mengawatirkan keselamatan jiwa anaknya yang telah “murtad” dari Gereja Katolik karena menurutnya “di luar Gereja tidak ada keselamatan”—ex ecclesia nulla salus . Imannya yang kuat dilandasi Sabda Yesus sendiri, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup” dan tidak ada yang bisa sampai kepada Bapa tanpa melalui Yesus.
AJARAN GEREJA KATOLIK TENTANG AGAMA-AGAMA LAIN
Untuk bisa mengurai persoalan yang membelit Pak Petrus perlu kiranya melihat bagaimana ajaran Gereja Katolik (GK) sehubungan dengan agama-agama dan tradisi lain.
Nostra Aetatae 2: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diajarkan dan diyakini sendiri. Tetapi tidak jarang benar-benar memantulkan Kebenaran yang menerangi semua orang.”
Lumen Gentium 16: “Apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan…Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal”.
Ad Gentes 9: “Kebenaran atau rahmat mana pun, yang sudah terdapat pada para bangsa sebagai kehadiran Allah yang serba rahasia”
Masih banyak ajaran resmi yang mengungkapkan sikap hormat dan positif GK terhadap agama-agama lain dan seperti ada LG 16 di atas, ajaran pra Konsili II “ex ecclesia nulla salus” sudah tidak berlaku. Terhadap agama-agama non Kristen (Islam, Hindu,Budha, misalnya) GK lebih mengedepankan dialog daripada polemik apalagi apologetik, demikian juga dengan gereja-gereja lain lebih berorientasi pada ekumene daripada superioritas dan rivalitas.
APA MASIH PERLU MEWARTAKAN INJIL?
Apakah dengan sikap GK yang positif dan apresiatif terhadap agama-agama lain membuat kita bersikap pasif dan tidak perlu melakukan pewartaan (pengabaran Injil)? Atau memilih prinsip “semua agama sama saja”? Dan tidak ada kebanggaan serta identitas yang khas sebagai orang Katolik? Apakah anak-anak kita atas nama kebebasan juga kita biarkan tanpa perlu mendidik secara Katolik sejak kecil?
Nostra Aetatae 2: “Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup”(Yoh14:6),dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya”
Lumen Gentium 14: “ Maka dari itu andaikata ada orang yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan”.
Dua kutipan itu menunjukkan tugas pewartaan yang tiada henti tentang Yesus sebagai satu-satunya “jalan, kebenaran dan hidup” dan sikap tegas terhadap orang yang tahu itu tetapi dengan sadar tidak mau memeluk agama Gereja Katolik. Dengan demikian, bagi orang beriman Katolik, tidak “semua agama sama saja” walaupun tidak mengingkari adanya keselamatan di luar GK dengan syarat=syarat tertentu seperti disebutkan dalam ajaran di atas.
Dalam hal pewartaan, ada ajaran yang menegaskan” Jadi janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan”(DH3). Selanjutnya disebutkan, “Penyebarluasan iman harus dilakukan dengan menghormati kebebasan setiap orang. Kegiatan penyebaran iman tidak boleh menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin”(DH 4)
Lalu bagaimana dengan anak-anak kita sendiri? Tentu tugas orangtua menanamkan nilai-nilai kekatolikan sejak dini sehingga ketika dewasa semakin mengakuinya secara lebih mantap dan tegas. Hal ini akan dimungkinkan jika “pendidikan iman” lebih ditekankan daripada “pendidikan agama”. Bukan dogma-dogma dan ritual-ritual yang ditekankan melainkan anak mampu mengalami kehadiran Yesus dalam pergulatan hidupnya. Tentu dibutuhkan strategi dan metode yang kreatif untuk pendidikan iman bagi generasi milenial yang ditandai dengan masifnya komunikasi digital dan virtual dalam kehidupannya. Orang tua perlu hadir terutama pada saat-saat krisis atau menghadapi pilihan-pilihan dengan melibatkan peran Yesus yang nyata hadir sehingga anak-anak semakin menghayati kekatolikan melalui iman yang hidup dalam kehidupan nyata.
LOVE PREVAILS
Di tengah arus jaman yang semakin pluralis, dialogis dan ekumenis, kasus seperti dialami Pak Petrus bukan hal yang mustahil. Itu bisa menimpa siapa saja, apakah orangtua yang “imannya” kuat atau biasa-biasa saja. Ketika hal semacam itu menimpa, maka hukum LOVE PREVAILS yang perlu digunakan : Kekuatan Cinta akan mengungguli apa pun karena seperti dikatakan Santo Yohanes “Tuhan adalah Cinta”. Cinta Pak Petrus kepada anaknya mestinya tidak bisa dikalahkan oleh rasa kecewa, malu atau marah yang timbul dalam dirinya. Cinta Pak Petrus kepada Gereja juga tidak bisa dikalahkan rasa bersalah sehingga tidak perlu mengundurkan diri. Dengan mengandalkan kekuatan Cinta yang adalah Tuhan sendiri, relasi dengan anak dengan Gereja tidak terganggu. Cinta mampu mengatasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan agama dan keyakinan. ( Disarikan dari Reloleksi Ikafite 11 Maret 2022 dengan nara sumber: Mgr.Sunarka,OFM dan Dr.Karlina Supelli)
Abot abot ha ha ha