Tidak Memanen, Jika Tidak Menanam
Tidak semua yang kita tanam akan kita panen, dan kita tidak akan pernah memanen jika tidak pernah menanam. Kalimat itu menjadi motto hidup H. Soekardjo dalam menjalani hidup bertani padi organik di desa Kwilet, Muntilan, Jawa Tengah.
Saat ini Mas Kardjo mengelola satu hektar sawah padi yang dikelola secara organik. Rata-rata lahan tersebut bisa ditanam dan dipanen lima kali dalam waktu dua tahun. Jika dirupiahkan, sekitar lima juta rupiah per bulan. “Pendapatan tersebut sudah dikurangi beaya operasional,” jelas Mas Kardjo kepada penulis hari Kamis, 24 Nov 2022. Hasil penjualan berasnya tidak menutup biaya operasional yang dikeluarkan.
Pria yang belajar bercocok tanam sejak kecil ini pilih memanam padi organik sejak tahun 2006. Ia mengaku, menanam padi secara mandiri. Pengolahan lahan dilakukan sendiri, mulai dari pembenihan, pemanenan, penjemuran, hingga penjualan berasnya.
Ada beberapa alasan Mas Kardjo memilih menanam padi organik. Pertama, dengan pupuk organic, semakin lama tanah yang digunakan bertanam semakin subur. Kedua, tidak bingung mencari pupuk kimia, yang mahal dan semakin ribet. Ketiga, Tanaman lebih sehat dan nasinya lebih enak, pulen dan awet. Keempat, Harga jual lebih tinggi dibanding yang non organik. Dan kelima, beaya produksi lebih irit karena dikerjakan sendiri.
Sebenarnya, jelas Mas Kardjo, hasil yang didapat bisa lebih dioptimalkan. Ia bertutur, temannya yang memiliki lahan seribu meter persegi bisa menghasilkan Rp 4 juta sampai dengan Rp 5 juta. Memang dibutuhkan kerja keras dan kreativitas. Teman Mas Kardjo mengelola lahannya yang kecil itu selain bercocok tanam juga memelihara ternak, seperti kambing, ayam dan entok. Selain bercocok tanam, Mas Kardjo juga membuka usaha warung makan “Iwak Kali Kwilet” di depan rumahnya.
Berdasarkan pengalaman Mas Karjo yang pernah menjadi konsultan UMKM Bank Indonesia ini, jika bercocok tanam musti diimbangi dengan budidaya yang lain. “Jika bertani, kita juga harus imbangi dengan dunia peternakan atau perikanan. Itu akan menghemat sekali,” jelas bapak empat putera ini.
Mas Kardjo pernah bercita-cita dan sekolah di seminari untuk imam Katolik. Setelah memutuskan keluar dari biara MSF, ia belajar ekonomi dan meraih gelas Magister Managemen konsentrasi bidang keuangan di Universitas Atmajaya.
Dalam hal pertanian, Mas Kardjo berkeyakinan bahwa petani harus menjual hasil pertaniannya sendiri ke konsumen akhir atau paling tidak pedagang besar. Jika menjual padi yang masih di sawah atau menjual gabah, pasti akan rugi. Hal tersebut juga dilakukan Mas Kardjo dalam mengelola sawah padi organiknya. Ia menjual sendiri dan juga bersama sama dengan petani lainnya kepada konsumen. Ia tidak bisa mencukupi sendiri kebutuhan konseumen, karena permintaan beras organik sangat banyak.
Demikian juga halnya bila beternak atau memelihara ikan. “Jangan sampai kita itu membeli pakan, tetapi harus membuat atau mencari pakan sendiri,” tegas Mas Kardjo. Misalnya, kita memelihara kambing, ya musti mencari rumput. Jangan membeli rumput, Jika kita membeli rumput, bisa dipastikan akan bangkrut.
Demikian halnya jika memelihara ayam, pakan ayam harus dibuat sendiri, atau nyampur sendiri. Jika kita memelihara ayam dan pakannya kita beli semua, bisa dipastikan akan merugi.*