Kemandirian Dalam Perkawinan

Kemandirian Dalam Perkawinan

Kami menikah baru setahun, dan sekarang saya sedang mengandung anak pertama. Persoalan yang saya hadapi adalah sikap ibu mertua yang masih sangat dominan terhadap suami saya dan tidak bisa menghargai saya sebagai istri yang juga perlu kewenangan untuk mengatur keluarga saya sendiri. Repotnya, suami saya juga sangat taat dan takut dengan ibunya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga harus seijin ibunya, padahal secara finansial kami sudah cukup mandiri. Walaupun kami sudah memiliki rumah sendiri, ibu mertua hampir setiap hari mengunjungi kami dan ikut campur urusan kami. Pernah kekesalan saya ini saya sampaikan kepada suami, namun kelihatannya ia justru membela ibunya dengan dalih semua itu demi kebaikan kami, dan meminta saya yang harus mengalah dan mengerti. Sampai kapan saya harus begini ?

Perkawinan yang sehat akan berjalan dengan mulus jika dibangun oleh dua pribadi yang sudah dewasa dan mandiri, khususnya kedewasaan emosional. Artinya, orang yang dewasa secara emosional memiliki kemandirian , tak tergantung lagi oleh siapa pun termasuk ibunya. Problema klasik huungan “menantu-mertua” seperti yang anda alami disebabkan ketidakmandirian secara emosional seseorang dengan orangtuanya. Suami anda sangat tergantung pada ibunya, sementara ibunya pun tergantung (ia membutuhkan seseorang sebagai objek egoismenya dengan dalih kasih sayang ). Semakin anak dewasa semestinya semakin membebaskan diri dari ketergantungan pada orangtuanya, dan tugas orangtua juga agar membuat anaknya semakin mandiri. Anak harus belajar mengatasi dan bertanggungjawab terhadap persoalannya sendiri, tanpa harus diintervensi pihak lain termasuk orangtuanya sendiri.
Anda tentu akan mengalami kesulitan karena anda bersuamikan orang yang hatinya “mendua”, secara emosional tak jauh berbeda dengan seorang suami yang beristri dua. Oleh sebab itu, anda harus bersikap tegas terhadap suami agar belajar menjadi orang yang mandiri, membebaskan diri dari dominasi ibunya . Katakan bahwa anda (dan suami) sudah memiliki keluarga sendiri yang seluruh wewenangnya ada di tangan anda berdua. Tak ada siapa pun termasuk ibunya, yang boleh mengatur dan mencampuri urusan keluarga anda jika tidak anda berdua memintanya. Katakan bahwa hubungan akan membahagiakana jika dibangun oleh dua pribadi yang dewasa secara emosional. Berbeda pendapat dan tidak menuruti orangtua, bagi orang yang sudah berkeluarga bukan tindakan durhaka atau tidak hormat kepada orangtua. Katakan pula kepada suami bahwa anda sebagai pasangannya harus menjadi orang nomor satu, prioritas yang paling istimewa, di banding orang lain termasuk ibunya. Terhadap mertua pun, anda mesti menyampaikan sikap seperti apa yang anda inginkan dengan cara yang halus. Sampaikan bahwa anda berdua ingin belajar membangun keluarga yang mandiri, biarkan mengalami jatuh bangun sendiri. Katakan bahwa untuk hal-hal yang memang anda membutuhkan bantuan, tentu anda akan menyampaikannya sendiri, sedangkan untuk hal-hal lain yang anda bisa mengatur biarlah anda sendiri yang menentukan.
Karena persoalan ada pada diri suami anda, yakni terjadi hambatan dalam perkembangan psikisnya karena dominasi ibunya sehingga ia tetap kekanak-kanakan kendati usianya sudah dewasa, maka dorong suami anda untuk mendapat terapi dari psikolog yang profesional. Ajak suami membaca buku-buku pengembangan diri atau mengikuti seminar yang serupa. Dengan cara demikian, suami akan lebih termotivasi untuk mengubah dan mengembangkan diri.

Makanya, penting sekali bagi calon pasutri untuk dengan cermat melihat bagaimana pola hubungan calon pasangan dengan orangtuanya karena hal ini akan sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan anda dalam mengelola perkawinan. Ketergantungan emosional anak dengan orangtua sekilas mungkin nampak sebagai keakraban dan harmoni yang justru menarik perhatian anda, namun coba cermati sejauh mana calon pasangan anda memiliki kemandirian, keberanian untuk mengambil keputusan sendiri , bahkan yang berbeda dengan orangtuanya. Hal ini penting karena pola relasi yang dikembangkan dalam suatu keluarga cenderung untuk diulang lagi ketika orang tersebut membangun keluarga sendiri Dalam kasus anda ini, suami anda pun akan mengukur anda dengan bandingan ibunya, dan berharap anda pun bisa berperan menjadi ibunya, dan ini konyol namanya. Ketika kita memilih pasangan, kita tidak sedang mencari “ibu”, “kakak”, “ayah”, atau “anak” sebagai obyek egoisme kita , melainkan pribadi yang dewasa yang mampu diajak bertanggungjawab bersama dalam membangun keluarga, yang mampu saling mendewasakan dan membahagiakan.
Benar kata pepatah, “menjadi tua itu alami tetapi menjadi dewasa itu pilihan” sehingga usia tua tidak jaminan adanya kedewasaan. Suami anda mesti dimotivasi untuk berani mengambil keputusan menjadi dewasa, dengan pelahan-lahan membebaskan diri dari dominasi ibunya.

Paul Subiyanto

Dr.Paulus Subiyanto,M.Hum --Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bali ; Penulis buku dan artikel; Owner of Multi-Q School Bal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *