Hilangnya Kehadiran Guru
Kata present (Inggris) memiliki tiga makna: hadir,hadiah dan sekarang. Dalam konteks hubungan antar manusia, present bisa dimaknai bahwa kehadiran adalah hadiah yang tak tergantikan atau tak bisa ditunda. Subjek utama pendidkan adalah guru dan siswa. Proses pendidikan terjadi dalam relasi dan interaksi antara guru dan siswa ibarat tumbuhan dan lahan tempat tumbuh. Semakin subur lahan, semakin sempurna pertumbuhan tanaman. Dengan kata lain, kualitas pendidikan sangat ditentukan kedalaman relasi antara guru dan siswa atau keberhasilan pendidikan ditentukan oleh bagaimana guru membangun relasi yang akrab dan menginspirasi siswanya. Seorang siswa yang menyukai (relasi baik) dengan gurunya biasanya berpengaruh positif pada semangat dan capaian belajarya. Sebaliknya, siswa yang membenci gurunya akan kehilangan minat terhadap apa yang diajarkan gurunya. Demikian juga apa yang diingat (dikenang) siswa tentang gurunya bukan pada apa yang dajarkan melainkan hal-hal yang terkait dengan relasinya dengan guru, khususnya perilaku guru sebagai teladan. Oleh sebab itu, kehadiran guru melalui relasi dan interaksinya dengan siswa menjadi factor penting dalam proses pembelajaran, khususnya untuk anak usia dini dan sekolah dasar.
Hilangnya Kehadiran
Hampir delapan bulan sejak Pandemi Covid 19 merebak, kehadiran guru secara nyata di tengah para siswa tercabut, ibarat tanaman tumbuh lahan kering yang kerontang karena tak tersiram air. Pembelajaran berlangsung secara daring sehingga kehadiran pun hanya “seolah-olah” terjadi (virtual). Guru kesulitan untuk mengenali para siswa apa adanya karena mereka bersembunyi di balik media. Nilai- nilai edukatif seperti kedisiplinan, tanggungjawab dan kejujuran yang semestinya ditanamkan melalui proses belajar menjadi sulit untuk dimekarkan karena fokus pembelajaran lebih pada konten akademik pada ranah kognitif. Padahal nilai-nilai hidup (living values) hanya akan tumbuh secara efektif melalui interaksi langsung guru dan siswa, termasuk keteladan guru sebagai role model bagi siswa. Pudarnya nilai-nilai hidup dalam proses pembelajaran menjadi kerugian besar terhadap pembentukan karakter yang bermuara pada merosotnya kualitas sumber daya manusia pada generasi mendatang. Inilah harga yang harus dibayar oleh pembelajaran daring bagi anak-anak, yang mungkin kurang diperhitungkan pleh para pengampu kebijakan negeri ini, khususnya bagi siswa Sekolah Dasar dan Paud karena terlalu fokus pada dampak ekonomi saja. Program pendidikan karakter akan sia-sia jika kehadiran guru di tengah muridnya tidak dipertimbangkan kemendesakan dan kepentingannya dalam proses pembelajaran. Bukan hanya mal dan tempat wisata yang mendesak untuk dibuka melainkan perlu didengar jeritan kerinduan anak-anak untuk segera bertemu dengan guru dan teman sebayanya.
Mencari Alternatif
Alasan mengapa pintu kelas tetap terkunci tentu karena keselamatan siswa lebih diutamakan. Tetapi apakah tidak ada cara sedemikian rupa sehingga keselamatan tetap diutamakan sekaligus pendidikan tetap berlangsung walaupun tidak maksimal. Guru sekurang-kurangnya bisa hadir secara langsung di tengah para siswanya mungkin satu atau dua kali seminggu secara bergilir dengan protokol ketat.
Model kelas terbatas dengan protokol ketat semacam ini bisa diterapkan. Kelas hanya diisi lima sampai sepuluh siswa dengan jarak duduk cukup jauh, tidak ada kontak langsung antar siswa, tidak ada istirahat untuk bermain. Kelengkapan standar seperti masker,sanitizer,pelindung muka, alat termogun dan disinfektan menjadi keharusan.. Orangtua wajib mengantar dan menjemput anaknya tepat waktu dan diawasi jangan sampai terjadi anak- anak berinteraksi di luar kelas. Konsekuensinya, guru akan bekerja empat atau lima kali lipat dengan murid yang terbatas. Artinya, harus ada penambahan honor mengajar atau jam lebih untuk guru. Siapa yang bertanggungjawab? Tentu di sini pemerintah harus hadir dan peduli dengan pendidikan. Jangan harap sekolah swasta mampu memberi honor tambahan karena kondisi sekarang ini sudah membuat mereka sempoyongan secara finansial mengingat banyak orangtua siswa yang terdampak pandemi dan berimbas pada kelancaran pembayaran uang sekolah sementara guru terus bekerja dan harus digaji.
Selain model tatap muka terbatas seperti di atas, model home visit ( kunjungan guru ke rumah siswa) bisa diterapkan dengan tetap mengindahkan protokol bisa menjadi alternatif agar terjadi interaksi langsung antara guru dan siswa. Bayangkan bagaimana perasaan anak kelas satu SD atau Paud yang sejak masuk hari pertama sampai satu semester hanya bertemu guru dan teman-temannya melalui layar laptop atau gawai. Kehadiran guru di rumah siswa secara bergilir yang mungkin hanya satu atau dua minggu sekali bisa mengobati kekecewaan dan frustasi anak sehingga membangkitkan lagi semangat belajarnya. Pengalaman guru yang menjalani model home visit mendapatkan kejutan-kejutan karena ternyata anak yang dijumpai secara virtual tidak selalu sama seperti kenyataannya. MIsalnya, anak yang secara daring tampak sangat aktif ternyata anak pendiam dan pemalu, bahkan ada anak dengan kelemahan-kelemahan tertentu yang tak terdeteksi secara daring. Ada juga orangtua yang terlalu dominan mengerjakan tugas-tugas anaknya demi mengejar nilai rapor dengan mengorbankan nilai kejujuran. Perjumpaan langsung melalui kunjungan ini memungkinkan guru bisa mengenal siswanya apa adanya, tanpa ditutupi media.