Sekali Imam tetap Imam
Misi ke Agats Bagian Pertama
Namanya Anton R. Tjokroatmodjo. Romo Tjokro, demikian pria berambut panjang ini biasa di panggil, menerima tahbisan imamat 2 Februari 1979, di Gereja St. Petrus, Purwasari, Surakarta. Itu berarti, 21 tahun ia menjadi imam dari tarekat Misonaris Keluarga Kudus (MSF).
Seperti semua anggota tarekat, Romo Tjokro menjalani pendidikan sebagai anggota MSF mulai dari masa postulant (calon anggota) hingga tahbisan imam. Pria kelahiran Solo ini masuk menjalani pendidikan di seminari persiapan MSF, yang waktu itu disebut Colege Berthinianum di Ungaran, Jawa Tengah pada tahun 1969 hingga 1971.
Selepas pendidikan di Ungaran, ia melanjutkan study filsafat dan teologi di Institut Filsafat dan Teologi (IFT), yang sekarang lebih dikenal dengan Seminari Tinggi Kentungan atau Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Setelah tiga tahun lamanya, dari 1971 hingga 1973, Romo Tjokro belajar filsafat, ia mendapat tugas tahun orientasi pastural (TOP) di Paroki St. Yosef, Pati, Jawa Tengah pada tahun 1974. Lima tahun pertama hidup di tarekat MSF dilaluinya dengan lancar.
Dan tahapan selanjutnya, Romo Tjokro harus menjalani masa tahun novisiat. Satu tahun penuh di tahun 1975, Romo Tjokro menjalani sebagai novis, di Jl. Muwardi 13, Salatiga. Sekarang tempat itu bernama Wisma Kana, sebagai tempat retret.
Setelah menjalani tahun novisiat, hati Romo Tjokro masih berkobar untuk melanjutkan taaran menjadi imam. Masa formatio itu terus dijalaninya. Ia diijinkan untuk meneruskan studi teologi di IFT, hingga lulus dan ditahbiskan menjadi imam MSF.
Romo Tjokro mendapat tugas perutusan untuk pertama kali sebagai pastor rekan di Paroki St. Maria, Kartasura. Selain melayani umat Katolik di Kartasura, Romo Tjokro juga membantu pelayanan di Paroki Boyolali, khususnya wilayah Simo dan sekitarnya.
Tugas Romo Tjokro di Kartosuro kurang lebih hanya satu tahun. Pimpinan tarekat mengutusnya berangkat ke Kalimantan, membantu tugas Mgr. Wilhemus Demarteau MSF, Uskup Keuskupan Banjarmasin. Oleh Bapak Uskup, Romo Tjokro mendapatkan tugas perutusan awal di Palangkaraya dan kemudian diutus melayani umat Katolik di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, yang saat itu masih menjadi wilayah pelayanan Keuskupan Banjarmasin. Pada masa itu masih banyak umat katolik yang menjadi transmigran di Kabupaten Kapuas maupun Tanah Laut.
Kurang lebih sepuluh tahun Romo Tjokro menjalani tugas perutusan di Kalimantan. Waktu terasa begitu cepat, tantangan begitu berat. Jubah harus ditanggalkan untuk menjalani hidup di luar biara. Pada tahun 1990 ia kembali ke rumah di Solo, menanggalkan status imam dan mencari pekerjaan demi sesuap nasi. “Apapun jenis pekerjaannya, sejauh masih mengikuti norma dan tatanan sosial, saya lakukan. Sekali lagi alasannya, agar dapat makan dengan layak,” tegas Romo Tjokro.
Tahun 1994 Romo Tjokro hijrah ke Jakarta. Rupanya, di kota metropolitan ini Romo Tjokro bertemu dengan teman-teman serumah dan sependidikan di tarekat MSF. Romo Tjokro sangat terbantu, karena banyak temannya yang memberikan tumpangan tempat tinggal dan mencarikan pekerjaan yang layak. Perjumpaan dengan teman-teman ini dirasakan masih hangat dan berkekeluargaan, sebagaimana dialaminya di dalam biara. Juga terjadi saling menjaga, mengungkap rasa dan keluh kesah. Rupanya, pertemanan itu menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas Paseduluran Brayat Minulya Nusantara (PBMN).
Rupanya, kesibukan dan hiruk pikuk Metropolitan Jakarta tidak mampu melenyapkan benih panggilan imamat Romo Tjokro. Tahun 2011 Romo Tjokro diterima sebagai anggota imam Deosesan Keuskupan Agats di Papua. Dengan hati gembira, ia berangkat ke pulau di ujung timur Indonesia itu untuk menjalani tugas perutusan. Sekali tertahbis menjadi imam tetap imam. (Unggul)
Inspiratif