Mengenali TOXIC POSITIVITY dalam Komunikasi
Pernahkan Anda mendengar ucapan atau nasihat yang bertujuan baik tetapi justru menyakiti atau bahkan melukai? “Kamu itu sebenarnya pintar, sayang sekali gak punya kegigihan”;” Anak tetangga bisa berprestasi, mosok kamu yang punya fasilitas lebih tidak?”; ” Sudah saya ingatkan jangan pacaran dengan dia tapi kamu nekad. Sekarang begini jadinya. Kamu sendiri kan yang salah?”
Ujaran – ujaran semacam itu sering terjadi dalam komunikasi orangtua- anak, suami-istri,guru- murid dan dalam hubungan yang lain.Mengapa orang bisa tanpa sadar memproduksi ujaran yang menyakitkan dan meracuni? Toxic positivity timbul dari orang yang secara berlebihan berusaha menjadi ( tampak) baik dengan menekan emosi- emosi negatif supaya tidak keluar. Orang- orang yang terlalu perfeksionis dan jaim ( jaga imej) dengan selalu ingin tampil sempurna. Ibarat tikus sawah yang bersarang di pematang, ditutup sini akan keluar sana, demikian juga emosi negatif yang ditekan. Salah satunya mbrobos menjadi ucapan yg bersifat toxic atau racun.
Orang dengan toxic positivity sejatinya hidupnya tidak damai karena dihantui apa kata orang. Mereka juga kehilangan kemampuannya berempati terhadap orang lain selain ucapan- ucapannya yang menyakitkan. Akibatnya,relasi dengan orang lain pun rusak karena orang tidak nyaman berada di dekatnya.
Mengingat dampak buruk toxic positivity terhadap diri sendiri dan orang lain, kita perlu mengenali dan menghindarkan jangan sampai toxic ini menjadi habitus atau kebiasaan. Dalam jiwa yang sehat terdapat hidup yang berkualitas
Mantab
Salam JMJ
🙏🙏