Mengelola Konflik Dalam Perkawinan
Rani dan Adi baru beberapa bulan menikah, dan berharap bisa merawat perkawinan ini sebaik mungkin. Namun justru konflik demi konflik mulai bermunculan. Mereka mulai sadar bahwa perkawinan tidak bisa berjalan secara otomatis melainkan butuh ketrampilan berkomunikasia, terutama bagaimana mengantisipasi agar persoalan-persoalan bisa diatasi dengan baik.
Masalah-masalah selalu ada, dan masalah besar tidak terjadi secara serta merta, melainkan tumpukan masalah yang tidal diselesaikan dengan baik. Kasus-kasus besar seperti kekerasan, dan perceraian pun biasanya merupakan puncak ledakan emosi negatif yang sudah terakumulasi lama tanpa kunjung ada jalan keluarnya. Seorang konselor perkawinan Barbara De Angelis dalam bukunya Love, Sex and Relationship telah memetakan proses ketegangan dalam hubungan suami istri dalam empat tahap sebagai berikut:
1. Resistance ( Perlawanan)
Wajar dalam hubungun suami istri , kita menjumpai hal-hal yang tidak mengenakkan pada diri pasangan. Kita merasa jengkel dan tidak suka dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu pasangan seperti menaruh barang sembarangan, kata-kata yang kurang sopan, dan hal-hal sepele lainnya. Kita kawin dengan orang yang memiliki latar belakang tertentu, nilai-nilai tertentu, kebiasaan tertentu, yang sudah mengkristal menjadi karakter setelah terpola di masa kecilnya. Secara naluriah, ketika kita menjumpai hal-hal “aneh” ( sesuatu yang tidak sesuai dengan milik kita ) pada diri pasangan, muncul reaksi untuk melawan ( resistance ) yang tentu saja disertai emosi negatif tertentu. Namun demikian, para pasutri seringkali mengabaikan tahap ini karena alas an- alasan tertentu seperti menjaga keharmonisan, tidak mau ribut, nanti akan hilang dengan sendirinya , apalagi suami istri yang tinggal serumah dengan orangtua ( mertua) tentu sangat menjaga imej. Akibatnya, emosi negatif yang nampak sepele ini pun tertekan dan menumpuk namun perlu diingat bahwa emosi negatif tetap ada hanya tidak diberi kesempatan untuk muncul ke permukaan.
Semestinya pada tahap yang masih awal ini, para pasutri justru belajar untuk saling mengomunikasikan perasaannya, khususnya perasaan negatif Menyampaikan apa yang sedang dirasakan kepada pasangan bukan tindakan mau ribut asalkan dilakukan secara konstruktif dan tidak saling menyalahkan. Demikian juga, kemampuan mendengarkan apa yang sedang dirasakan pasangan semestinya ditumbuhkan sejak hubungan memasuki tahap ini . Dengan cara demikian, emosi negatif yang diungkapkan dan dipahami akan membuahkan keintiman dan kehangatan. Kebutuhan dasar setiap insan adalah diterima dan dimengerti sebagaimana adanya. Dari sinilah bangunan relasi mendapatkan pijakan yang kokoh untuk mampu menghadapi berbagai gelombang kehidupan seterusnya.
2. Resentment ( Kemarahan /Kebencian)
Apabila tahap Resistance tak teratasi dengan baik, hubungan akan memasuki tahap “R” berikutnya, yakni Resentment Sekarang akumulasi emosi negatif mengkristal menjadi perasaan marah atau benci yang tertuju pada pribadi pasangan, bukan hanya sekedar rasa tidak suka terhadap kebiasaannya. Tahap ini ditandai dengan hilangnya gairah, romatisme, dorongan untuk menghindari pertemuan atau percakapan, melarikan diri ke hal-hal lain, kata-kata sinis dan menyakitkan mudah terlontar. Pertengkaran yang tidak fokus pada persoalan, lebih mengarah pada serangan yang bersifat pribadi sekedar untuk saling menyakiti. Kemarahan dan kebencian akan memadamkan gairah seksual karena hilangnya keintiman dan kehangatan secara emosional Di sinilah perselingkuhan mendapat celah untuk menyusup dalam kehidupan perkawinan, dan pada saatnya akan memporakporandakan.
Apabila Anda sedang berada pada tahap ini, saatnya untuk secara serius memberi prioritas pada hubungan Anda dengan pasangan. Komitmen untuk mempertahankan hubungan dalam keadaan apa pun perlu diikrarkan lagi. Anda dan pasangan membutuhkan waktu khusus untuk membuat introspeksi, menggali dan menemukan akar persoalan, sembari menumbuhkan kembali gairah dan romantisme sebagai perekat hubungan. Jika perlu, Anda memerlukan bantuan professional untuk bisa melampaui tahap ini. Perkawinan dirancang bagi para pecinta untuk belajar saling memberi, bukan saling menuntut , dengan terus konsisten pada komitmen semula.
3. Rejection ( Penolakan)
Jika pasutri gagal melewati tahap Resentment, maka rasa marah dan benci kini berubah menjadi dinding tebal yang memisahkan satu sama lain secara emosional. Pada tahap ini, seakan ikatan emosional sirna dalam hubungan suami istri kendati mereka masih tinggal serumah. Gejalanya justru frekuensi pertengkaran menurun diganti dengan keinginan untuk memisahkan diri. Pasutri dalam tahap ini sudah terlalu lelah untuk menahan kekecewaan dan pertikaian, maka dorongan atau ancaman untuk meninggalkan rumah dan bercerai selalu mewarnai setiap konflik. Pada tahap ini gairah seksual sudah terkubur dan sering terungkap dengan pisah ranjang, perkawinan tetap dipertahankan demi status sosial, alasan finansial , atau anak-anak
Karena di antara keduanya sudah terbentang dinding, pasutri yang mengalami tahap ini biasanya tak mampu mengatasi sendirian. Mereka membutuhkan bantuan orang lain secara profesional jika masih ingin memperbaiki hubungannya. Ada daya penolakan satu sama lain yang menyulitkan bagi keduanya untuk membangun niat bersatu kembali karenanya dibutuhkan penumbuhan kembali dari kedua pihak motivasi dan niat baik untuk memulai hidup baru dan melihat harapan-harapan yang masih terbentang dalam kehidupan perkawinannya.
4. Repression ( Penekanan )
Pada dasarnya jiwa manusia tidak mau tertekan dan menderita, jika pasutri tidak mampu mengatasi tahap Rejection namun tetap bertahan dalam hubungan dengan alasan-alasan tertentu, maka mereka membutuhkan alasan-alasan pembenar untuk melindungi dari rasa kecewa , gagal, dan sakit hati. Inilah puncak ketegangan dalam hubungan suami istri yang tak terselesaikan, yakni Repression, suatu tindakan pembodohan diri sendiri untuk mengganggap tidak ada masalah dalam hubungan. Penekanan emosi negatif yang terus-menerus sampai membunuh hubungan itu sendiri. Tahap inilah yang paling sulit ditebak karena adakalanya justru hubungan “kelihatan” baik-baik saja. Namun demikian pada situasi tertentu, atau ketika mendapat pemicu , didorong oleh sifat kepribadian seseorang yang unik, bisa terjadi ledakan hebat karena pada dasarnya emosi negatif yang semakin mengkristal terus-menerus mengintai untuk mencari kesempatan muncul ke permukaan.
Oleh sebab itu, para pasutri semestinya selalu waspada terhadap gejala “4R:” ini sehingga bisa membuat tindakan preventif begitu gejala awal muncul. Jangan menganggap sepele perkara kecil dalam hubungan karena perkara besar dimulai dari yang kecil-kecil. Perasaan-perasaan negatif yang kecil pun perlu dikomunikasikan kepada pasangan, kekecewaan perlu ditemukan sumbernya untuk merobohkan dinding pemisah, dengan cara demikian hubungan Anda akan tumbuh dengan penuh dinamika. Anda pun boleh jatuh cinta berkali-kali, namun dengan orang yang sama dalam bingkai perkawinan.
Bahan KPP ini penting bkan sekadar katekese dan selesai…
Salam JMJ