TUHAN BUKAN ARAB
Pernyataan ” Tuhan bukan Arab” secara linguistik tidak ada masalah seperti ” kambing bukan sapi”. Tetapi mengapa menjadi polemik ramai, sampai Cak Nun berteriak,” Saya diperintah Allah menjadi Jawa ,Cuk !”Oleh sebab itu perlu diulik konteks wacana ini. Awalnya pernyataan Jendral Dudung yang menyatakan ” Tuhan bukan orang Arab”, langsung kaum kadrun ramai- ramai menggeroyoknya dengan tuduhan ” penistaan agama”( pasal karet yang sering memakan korban, termasuk Ahok). Jendral Dudung dicitrakan sebagai ” musuh islam”, karena keberaniannya melawan kaum radikal. Jadi bisa dikatakan wacana ” Tuhan bukan Arab” berada dalam konteks polarisasi antara kaum radikal dan moderat. Kaum radikal ( kadrun) berdalih memurnikan Islam maka segala yang bukan Arab dianggap tidak Islam bahkan kafir dan harus diperangi sebagai kemungkaran dan kemusrikan, bahkan ustad Basalamah dengan jemawa meminta wayang dimusnahkan karena tidak arabi dan islami. Sebaliknya kaum moderat yang sering disebut Islam Nusantara justru menghargai budaya lokal sebagai ekspresi iman Islam. Sebuah fakta yang tidak bisa dihapus lahir sebagai orang muslim di bumi nusantara dengan keragaman budayanya. Pernyataan ” Tuhan bukan Arab” mau menyatakan bahwa menjadi Islam tidak harus menjadi orang Arab, tidak harus mengingkari akar kenusantaraannya ( yang memang tidak mungkin). Paijo walaupun berbaju gamis, berjenggot, batuk hitam dan celana cingkrang,bahkan menyebut “bapak” jadu Abi dan “Simbok” jadi Umi, minum kencing Onta lagi, tetap saja ia orang Jawa. Tuhan telah mentakdirkan ia jadi orang Jawa,bukan Arab atau Afganistan.
Tuhan tidak terikat dan tak bisa diikat atas dasar teritori,bahkan agama. Wacana yang sehat yang perlu dikembangkan adalah kita mempercayai Tuhan yang sama namun dengan sebutan dan pemahaman yang berbeda. Pancasila sudah dengan elegan menyebut Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan kita bersama.
Penis taan e tergantung pesenan dan yg nggambleh