Homo Digitalis
Manusia 4.0 sudah memaknai kata ” digital” sebagai hal yang lumrah seperti ” kopi”, ” pizza” dll. Kata ” digital” berasal dari Latin ” digitalis” yang berarti ” jari”. Dengan dahsyatnya konektivitas internet, manusia bisa masuk ke dunia virtual tanpa batas, bahkan melampuai realitas yang sesungguhnya. Melalui ujung jarinya,kegiatan bisnis, politik, sosial, bahkan ritual bisa dikendalikan. Generasi milenial tersihir bisa menambang uang melalui online, menjadi yutuber, reseller, atau bahkan buzzer, hecker atau hoaxer. Dunia manual konvensional seperti petani,tukang, penari kehilangan pamornya.
Setelah Homo Sapiens mengglorifikasi dirinya sebagai makhluk berpikir rasional, faktual, dengan positivisme dan materialisme dan menganggap di luar itu sebagai semu dan fiktif, kini pada puncak rasionalismenya justru manusia terjebak pada kehidupan virtual yang semu, yang hanya seolah- olah nyata padahal tidak ada. Para guru sibuk dengan program e-learningnya padahal sesungguhnya mereka sesungguh tidak mengajar, berada di ruang kelas berinteraksi secara dengan para muridnya, demikian para murid pun tidak sedang belajar, bisa saja hanya video profil yang terpasang padahal badan dan otaknya di tempat lain. Pembelajaran daring hanya peristiwa seolah- olah terjadi proses belajar mengajar. Memang komunikasi digital mampu menembus kendala seperti Pandemi yang menghalangi tatap muka, tetapi watak dasarnya yang hanya seolah- olah tidak bisa dinafikan. Contoh ekstrem di dunia politik,rakyat Amerika yang rasional bisa memilih Presiden yang irrasional. Warga Ibukota DKI yang maju dan terdidik pun bisa terkecoh memilih Gubernurnya yang inkompeten.
Di tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, sangat dibutuhkan cara berpikir yang kritis dan jernih yang mampu memilah dan memilih mana yang faktual dan rasional dari timbunan informasi yang justru hoax, fitnah, atau pencitraan belaka.(Paul)