Simalakama Sekolah dan Keluarga Katolik
Permasalahan klasik, soal beaya. Keluarga Katolik tidak semuanya berlimpah harta, maka kadang menjadi dilema ketika mau memasukkan anaknya ke sekolah Katolik yang sering terkenal dengan mahal. Atau ada yang terjangkau namun jauh. Serba repot.
Falsafah Jawa mengatakan, jer basuki mawa bea, ada harga untuk segala sesuatu. Iya benar, bahwa sekolah-sekolah favorit itu memang sangat mahal. Mirisnya kadang tidak terjangkau oleh keluarga Katolik.
Pada sisi lain, sekolah negeri begitu menjamur, bahkan menempel pada tembok rumah warga, sebagai sebuah ilustrasi betapa menggiurkannya sekolah negeri. Negara memanjakan sekolah-sekolah negeri, termasuk para gurunya.
Dulu, sekolah Katolik, jauhpun dicari karena mutu dan pendekatan soal kedisplinan yang jempolan. Kini soal karakter tidak banyak menjadi pertimbangan. Pokoknya sekolah favorid, mau jelek atau buruk tidak menjadi soal. Ketutup soal favorit. Apalagi jaminan bisa masuk sekolah atau universitas di atasnya yang sama-sama favorit.
Suka atau tidak, sebenarnya, sekolah-sekolah itu tidak benar-benar bagus dalam pendidikan. Namun, kadung punya nama, maka orang yang mendaftar pun sudah memiliki kelas tersendiri. Gampang mendidik anak pinter plus mampu secara ekonomi. Ini sebenarnya masalah yang sangat mendasar bagi dunia pendidikan.
Belum lagi masuk dunia pendidikan masalah ideologi dan politik. Ini fakta bahwa keberadaan sekolah Katolik yang mati suri juga karena perang saudara antartarekat yang memiliki visi dan misi pendidikan. Satu dua sekolah gede memang masih eksis, namun apakah masih akan mampu bertahan untuk satu dua dekade ke depan jika tanpa mau kerja sama dan kerja keras?
Kepercayaan. Ini hal yang mulai terkikis, bagaimana sekolah Katolik tidak lagi menjadi prioritas bahkan bagi anak-anak keluarga Katolik. Benar, pendidikan tidak berkaitan dengan agama atau visi misi sekolah, namun bagaimana penghayatan keagamaan siswa dan anak itu juga penting.
Sekolah Katolik juga susah mencari tenaga kependidikan terutama guru yang baik dan bermutu. Soal gaji dan penghargaan juga menjadi pertimbangan. Gaji guru negeri, apalagi sertifikasi sangat menjanjikan. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang lebih memilih menjadi ASN juga, jika menyaksikan bahwa banyak guru yayasan yang dibayar atas slogan, besar upahmu di surga.
Benar, banyak sekolah Katolik gede dan megah, gurunya juga sangat mapan ekonominya, namun berapa banyak yang honornya ngos-ngosan? Ini perlu menjadi pemikiran bersama, bahwa ini adalah keadaan konkrit yang terjadi di tengah-tengah Gereja.
Aktual dan menarik untuk permenungan bersama. Terima kasih
Salam hangat.
Serba susah
Salam JMJ