Agama, Ritual, dan Egoisme
Bicara agama, dalam konteks ini adalah sikap beragama. Tidak mengenai agamanya secara dogmatis ataupun teologis. Cara orang bertindak dalam mengamalkan agamanya. Perintah agama tentu tidak akan menyengsarakan, membuat pribadi itu menderita, namun justru merdeka dan bahagia.
Puasa, apapun agamanya ada ritual itu. Hanya beda-beda aturan dan syarat-syarat untuk aktivitas atau ritual agamis yang satu ini. Jadi, tidak perlu sensi, sewot, atau merasa mendeskreditkan agama tertentu. Bisa terjadi pada penganut agama apapun.
Pagi-pagi ada bahan diskusi di media percakapan spiritualis. Di sana ada yang membagikan link media sosial mengenai perempuan yang selalu memesan makanan se meja penuh. Merasa sia-sia dan menghabiskan gajinya, ia datang pada seorang praktisi hypnoterapi. Masalahnya ketemu, ketika dalam kandungan ibunya berpuasa.
Pribadi ini merasa kehausan dan kelaparan. Sikapnya yang membeli makanan berlimpah ini adalah wujud ketakutannya kekurangan makan dan minum semasa di kandungan. Ungkapan atas ketakutan, kecemasan, dan luka batin pranatal si perempuan ini.
Perintah agama kan juga ada dispensasi, pengecualian, dan aneka bentuk silih atau pengganti untuk ritual yang tidak bisa dijalani. Sering terjadi, demi pahala, nama baik kesalehan, dipandang taat oleh lingkungan, hak-hak khusus itu dinafikan dan memilih untuk ikut yang umum.
Tuhan itu tidak pendendam, pemarah, dan juga penghukum. Aneh saja Mahakasih dan Mahamurah kog pada ketakutan. Di mana kasih dan murahnya coba jika harus begitu taat, rigid, bahkan mengorbankan anak di dalam kandungan.
Tuhan itu tidak gila hormat, tahu kelemahan, kekurangan, dan batasan ciptaan-Nya. Sering manusia yang mencari-cari masalah dan mengatasnamakan Tuhan. Pencipta bukan ciptaan. Pemaksaan kehendak itu khas manusia, bukan model Tuhan Yang Mahamurah itu.
Ritual itu baik. Laku manusia yang menyatakan diri sebagai hamba, namun Sang Pencipta tidak juga kejam dan tanpa mau tahu bahwa kondisinya tidak memungkinkan. Jauh lebih tahu dan paham, namun manusianya yang meribetkan diri dengan segala tetek bengek yang sering ngaco.
Memahami tekstual saja sering salah paham, apalagi mengerti dan mengetahui apa yang Tuhan kehendaki. Minimal adalah ciri-ciri mendekati kebenaran.
Tuhan tidak akan menyusahkan manusia atas nama Diri dan kepentingan Tuhan. Memerdekakan bukan membelenggu. Sama juga ketika kita mencintai anak atau pasangan, apakah akan menyusahkan mereka?
Tuhan tidak gila hormat dengan ketaatan kita. Buat apa sih Tuhan membutuhkan pujian, puasa, atau mati raga kita? Sama sekali tidak ada. Ungkapan duka karena kedosaan kita, namun tidak juga perlu menyusahkan anak atau calon anak sendiri juga.
Tuhan itu memberikan suka cita bukan duka cita. Nah, ketika manusia itu susah, bahkan sakit, apakah benar itu dari Tuhan?
Egoisme manusia yang disematkan pada kehendak dan perintah Tuhan ini hanya terjadi pada pribadi yang kekanak-kanakkan. Pribadi dewasa pasti tahu Tuhan tidak kejam dan tahu batas dan kepantasan.
Salam JMJ
Susy Haryawan