Menilai Secara Utuh
Mensos Risma marah- marah menjadi viral dan menuai berbagai reaksi. Padahal selama 8 tahun jadi Walkot Surabaya, Risma marah sudah biasa, warga juga tidak mempersoalkan.Mengapa? Marahnya Risma bukan sekadar pencitraan, ada sebab yang masuk akal, ada sesuatu krusial yang tidak beres. Risma tidak bisa dinilai dari ” marahnya” saja. Ia pribadi yang total mengabdi dengan jujur dan tulus. Ia pribadi yang sangat prihatin dengan penderitaan wong cilik. Ia pekerja keras, pemimpin yang turun langsung. Dan semua itu sudah dibuktikan selama 2 periode menjadi Wali Kota Surabaya.Berbagai penghargaan atas prestasinya sudah dikantongi. Sebagai Mensos yang langsung mengurusi orang susah pada masa susah, sangat normal kalau Risma marah ketika menemukan keganjilan di lapangan. Risma juga menata birokrasi Surabaya berbasis data dan transparansi dengan menggunakan sarana Internet. Ketika data di tangan Risma ternyata berbeda dari petugas lapangan, dan berpotensi merugikan rakyat kecil yang berhak bantuan, wajar Risma marah.Sewajar Yesus marah dengan memporakporandakan para pedagang di Bait Allah. Kemarahan sebagai tanda dan peringatan adanya ketidakberesan. Apakah lalu bisa dinilai Yesus Pemarah?
Menilai seseorang terutama pemimpin mestinya secara utuh. Apakah Gubernur yang ramah ,santun dan soleh,tetapi tidak ada kinerja bisa dinilai sebagai Gubernur yang baik?
Kultur dan mindset kita masih beranggapan emosi, terutama negatif, harus disimpan, tidak boleh diungkapkan secara publik. Dan inilah yang dipakai sebagai kriteria menilai pemimpin, bukan kinerja secara utuh. Kegagalan Ahok contoh nyata bagaimana orang menilai hanya dari emosinya, bukan kinerjanya.