Membual- Ngibul, Menipu, dan Tabiat Buruk yang Tidak Disadari
Tadi pagi, ketika pemeriksaan rutin bulanan penyakit Ibu, pasien pada berkisah, ada yang tensinya naik tinggi, ketika ditanya dokter, obat dimakan rutin. Si sakit bercerita baru makan duren habis satu, dan obat rutinnya tidak dikonsumsi. Seolah hal yang biasa sajaa, padahal mengelabui, menipu, dan berkata bohong.
Berbeda dengan ngibul, ketika si penutur mengatakan cerita yang bombastis, susah dibuktikan dengan empirik, selain hanya memperhatikan rekam jejak perilaku dan apa yang diucapkan. Biasanya membual itu tidak merugikan pihak lain secara finansial, namun reputasi pribadi yang bersangkutan menjadi buruk.
Contoh membual atau ngibul itu, mengatakan bisa berdiri di puncak pohon bambu, bisa mendirikan candi sendirian, atau mengaku kenal dengan artis, pejabat, dan sebagainya. Tetapi hanya omong kosong yang dibesar-besarkan.
Bagaimana orang dengan begitu saja, merasa tidak bersalah, dan merasa baik-baik saja, padahal itu adalah dusta. Jangan heran, ketika orang terbiasa membual, berkata bohong, bahkan menipu dilakukan setiap saat, karena merasa sudah biasa, jadi nuraninya tumpul, tidak ada lagi yang mengusik dari dalam dirinya.
Lihat saja perilaku ligkungan kita. Sekolah, demi aman dari hukuman, tidak membuat pekerjaan rumah karena malas atau ketiduran menonton film, paginya mengaku sakit. Membolos atau terlambat dengan dalih ban bocor atau sakit perut, padahal aslinya bangun kesiangan karena begadang nonton pertandingan sepak bola di televisi.
Sikap abai akan tanggung jawab dan juga guru atau pendidik yang membiarkan hal kecil tersebut sebagai sebuah hal lumrah, menjadikan nurani sejak dalam pendidikan telah tumpul. Sama sekali ini adalah pereduksian nilai pendidikan yang hakiki.
Orang tuapun sama saja. Bagaimana mereka menegur anaknya yang terlambat pulang dari sekolah. Aslinya main namun si anak mengaku ada tambahan di sekolah. Orang tua jarang yang melanjutkan dan mempertanyakan jawaban tersebut. Lagi-lagi pembiaran, bahwa kebohongan itu normal.
Mengamankan diri dari hukuman yang kadang juga tidak seberapa, namun mencari aman dan mudahnya. Media hiburan juga mempertontonkan hal-hal demikian.
Pihak yang memiliki otoritas, guru atau orang tua, cenderung enggan susah dan membiarkan hal demikian berlalu. Meremehkan dampak dari bohong yang menjadi kebiasaan.
Pembiaran masih ditambah dengan contoh bahkan bisa jadi keteladanan. Miris jika melihat hidup bersama dengan sikap seperti ini. Negara yang sangat religius namun abai sikap dasar untuk bisa jujur. Wajar KPK tidak pernah akan selesai mengurus maling, karena sikap fundamental saja tidak pernah disadari ada persoalan gede.