Komsos, Politik, dan Gereja
Sering terdengar orang Katolik alergi dengan politik. Padahal Gereja melarang kegiatan politik praktis bagi hirarkhi, karena potensi adanya kesalahan sehingga tidak menyesatkan umat. Awam, umat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak muda, tidak ada yang salah dengan aktif dalam berpolitik praktis.
Minimal bisa paham mana yang hoax, mana yang separo fakta, mana yang benar-benar faktual. Nasihat Paus Fransiskus sangat tepat, komunikasi dengan hati, otaksering salah mengerti dan memahami. Melibatkan hati bisa menjadi sarana paham apa yang terjadi.
Suka atau tidak, banyak berseliweran informasi yang sering bertolak belakang. Lahirnya media sosial memang memudahkan, namun juga sekaligus masalah. Ketika ada pihak-pihak yang menggelontorkan informasi sesat, memutarbalikkan fakta, dan menguasai data dengan hal yang salah, nurani menjadi penting.
Lihat saja berapa banyak narasi, opini, status media sosial yang mengolok-olok, memaki, dan menghajar politisi bekerja, dan malah sebaliknya puja-puji pada politikus kotor, koruptor, konseptor omong besar tanpa tindak nyata. Miris, hal baik dimaki-maki, yang jahat penuh puja-puji karena satu barisan.
Bagaimana bisa membela kebenaran demi yang bayar atau sekadar perkawanan, kesamaan visi, misi, dan ideologi. Negara ini jelas ideologinya Pancasila. Siapa yang berseberangan, mau mengganti Pancasila ya bukan warga negara yang baik.
Namun apa yang terjadi?
Menyebarkan berita bohong, fitnah, bahkan caci maki seolah baik-baik saja, apalagi dibalut dengan kata-kata kesalehan, kesucian, dan mengutip kata-kata agamis. Inilah penistaan agama yang sejati. Seolah kata-kata suci hanya menjadi tameng, lamis, dan asesoris pembenar atas perilaku bejat.
Dikit-dikit penistaan agama. Jika dewasa, orang akan sangat jarang merasa tersinggung. Jiwa kanak-kanaklah yang sering dan mudah tersinggung. Hal yang sama, ketika enggan kerja keras, ini hanya dilakukan bocah.
Membuang sampah dipekarangan tetangga dan mengaku rumahnya bersih, tidak sejorok si tetangga. Politik model demikian ditebarkan barisan sakit hati dan oposan. Mereka ini orang gede, elit, dan biasa bergelimang materi dengan menggarong negeri. Ketika kelaparan, garongannya menipis, maka berulah.
Komunikasi dengan hati itu akan memampukan untuk melihat dengan jernih mana yang berisi kebenaran sepenuhnya, mana yang pura-pura, dan mana yang berpotensi memecah belah. Membaa berita, opini, dan narasi juga penting siapa di balik pemilik atau sponsor media tersebut, selain tentu saja siapa yang menulis.
Abai, apatis, dan tidak mau tahu mengenai politik itu yang dimaui pihak-pihak yang hendak menguasai negeri ini dengan cara yang lebih mudah. Merasa politik itu bukan dunianya, separasi Gereja dan politik bagi awam itu keliru.
Salam JMJ
Susy Haryawan