Punggahan
Tradisi Nusantara itu sangat kaya. Jawa teristimewa, di tengah gempuran penyingkiran tradisi setempat oleh kaum tertentu, jangan sampai kita ikut menjadi agen tersebut dan enggan mempelajarinya lebih jauh.
Gereja itu sangat identik dengan Jawa-Nusantara yang sarat akan makna dan simbol. Salah satu yang akan kita pelajari adalah Punggahan.
Menarik melihat dari macam sajian makanan tradisional ini. Membuat kita merenung untuk beberapa hal yang bisa menjadi bahan diskusi ringan untuk masyarakat Jawa yang masih setia nguri uri adat tradisi kehidupan masyarakat lokal. Banyak hal yang bisa digali dari filosofis makna dari sajian jenis makanan tradisional itu.
Selaku masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan sudah beberapa tahun hampir saja tidak mengenal lagi, karena tidak lagi menerima makanan ini dari para tetangga yang membuatnya. Pun di pasar-pasar juga sudah susah diketemukan, kecuali karena momen khusus.
Syukur bahwa setelah melihat situasi pandemi mereda kembali masyarakat secara pribadi yg meyakini sebuah tradisi Punggahan dengan sajian makanan ringan yang disajikan. Kemudian diberikan pada tetangga kanan kiri menjadi wujud rasa persatuan dan persaudaraan antarsesama.
Wujud dan rupa dari makanan ini hanya tiga jenis mempunyai makna yang sungguh luar biasa, sebagai berikut;
- Kue Pasung ( bentuknya yang seperti kerucut dan rasa manisnya luar biasa secara sederhana dimaknai bahwa kita nantinya bisa seperti kerucut yg puncaknya adalah kehidupan keabadian)
- Kue Apem ( rasa manis dan juga gurih, dimasak dengan cara dipanggang. Berbentuk bulat ini melambangkan bahwa dunia ini bulat dan bundar seperti jam dan bumi yang akan berputar 24 jam setiap harinya.
- Nasi Ketan putih ( Makna dari sajian Nasi ketan warna putih dengan pengolahannya diberi santan kelapa dan gurih, makna nasi ketan adalah reraketan atau kedekatan antara manusia dengan pencipta-Nya dan manusia dengan selamanya).
Relasi yang bagi orang Katolik sangat teologis, bagaimana salib itu relasi antara sesama dan Pencipta yang sangat erat. Maka dalam tradisi Punggahan, makanan ini menjadi sajian utama. Porsi sangat besar dibandingkan kedua sajian yang lain.
Tulisan tradisi Punggahan ini berdasarkan cerita dan pengalaman tahun-tahun lalu di masa kecil saya. Tentu sangat jauh dari lengkap, sekiranya masih belum puas bisa dilengkapi dengan mencari tambahan dari internet.
Demikian pemaparan singkat Tradisi Punggahan di akhir bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Nguri-uri budaya Nusantara yang akan terkikis kalau tidak dicintai. Apalagi ada gerakan pembersihan tradisi yang dinilai dengan sudut pandang egoisme spiritualitas agamis.
Penulis: Nowo Wibowo, Pegiat tradisi dan budaya Jawa di Juwangi Boyolali