Sekolah Katolik Nasibmu Kini
Menyikapi nasib sekolah Katolik, Keuskupan Agung Semarang membuat Gerakan Dua Ribu (GARDU). Sebagai sebuah upaya boleh didukung dan diapresiasi. Namun apakah menyelesaikan masalah. Benar bahwa masih banyak sekolah Katolik yang bisa menarik bayaran jauh lebih mahal dari pada beaya di perguruan tinggi. Toh tidak sedikit yang mati-matian untuk bisa mengupayakan beaya operasional saja.
Beberapa kali mendampingi anak-anak sekolah Katolik dari berbagai jenjang, ada satu benang merah, kesamaan, dan rutinitas yang didengar. Litani serba salah sekolah atau penggede mereka. Miris sejatinya, bagaimana sekolah Katolik yang dulu sempat menjadi favorit, kini merana. Murid dari kelas paralel yang begitu banyak, kini satu atau dua saja dengan kelas kurus.
Ada seorang imam yang mengatakan, mengapa sekolah Katolik krisis, karena orang tua murid keluarga Katolik tidak menyekolahkan di sekolah Katolik. Bisa saja demikian, lepas dari politisasi sekolah oleh ideolog tertentu. Ini harus disadari dulu, dengan berbagai aturan yang menyusahkan sekolah-sekolah berbasis agama nonmayoritas.
Belum lagi ujaran-ujaran berbasis agama untuk menyudutkan sekolah berbasis agama lain. contoh, sekolah di sekolah Kresten akan mati sangit, bukan sahid, yang membahagiakan bagi kelompok tertentu. Mati menderita, padahal apa kaitannya coba? Toh itu faktual.
Belum lagi sekolah negeri yang begitu banyak, menambah kelas tanpa memikirkan input anak yang ada di daerah tersebut. Gratis pula. terhimpit begitu banyak aturan dan juga keadaan yang sangat tidak mudah.
Gaji guru ASN ataupun P3K sangat menggiurkan. Bagaimana guru-guru yang sangat kompeten, dulu berlomba-lomba masuk Yayasan Katolik, kini milih ngantri jadi ASN. Konsekuensi logis hukum alam. Pun dengan keberadaan murid yang berkelas memilih ke sekolah negeri.
Apa yang terpapar di atas adalah apa yang terjadi dari pihak lain, pihak luar yang membuat keadaan sekolah Katolik terjepit. Namun toh banyak pula faktir di mana intern sekolah atau yayasan sendiri terlibat mempersulit diri.
Saingan yang tidak mutu. Lihat saja banyak sekolah atau yayasan Katolik berlomba-lomba mendirikan sekolah di daerah yang sudah ada sekolah Katoliknya. Biasanya karena memang menjanjikan, namun abai akan populasi. Bisa dicek di sekitar kita masing-masing.
Persaingan yang tidak bermutu lagi itu menjelek-jelekkan sekolah milik yayasan lain, padahal sama-sama Katolik. Hal demikian pasti tidak akan diketahui oleh gembala, pastor apalagi uskup. Hal sederhana yang menjengkelkan sejatinya. Cek saja ke guru-guru yayasan Katolik.
Silau masa lalu. Sering terdengar, dulu murid kami 500, sekarang 100 saja susahnya minta ampun. Mengenang masa lalu yang baik sih boleh-boleh saja, namun jangan sampai terpuruk dan hanya meratapi seperti itu, bagaimana inovasi menghadapi kenyataan.
Lebih parah lagi, ketika litani kesalahan yayasa atau pembesarnya dikatakan oleh para guru dan karyawan. Hal yang saya dengar sendiri. Mereka ini sudah tidak mungkin bisa melimpah menjadi ASN-P3K dan mengeluhkan semua keadaan yang ada di yayasan.
Bisa dibayangkan bagaimana pribadi demikian itu mengajar di kelas, atau berinteraksi dengan masyarakat. Keluhan tiada tepi dan akhir.
Masih ada celah yang bisa dimanfaatkan, penggede yayasan lebih rendah hati dan terbuka menjalin kerja sama dengan pihak lain. Lihat saja sekolah-sekolah baru juga bermunculan dan mereka bisa eksis.
Salam JMJ
Salah satu keunggulan sekolah Katolik adalah penanaman sikap disiplin dan kejujuran…tentu ini sangat baik dan terpuji.
Tentang biaya yg mahal ada benarnya, pengalaman pribadi dan ketika menyekolahkan anak anak di yayasan, sekolah Katolik favorite…ini merupakan bentuk loyalitasku thd yayasan dan sekolah Katolik dan ingin memberikan bekal hidup terbaik untuk anak anak.
Saat ini diperlukan strategi, kolaborasi untuk menjaga mutu dan eksistensi yayasan dan sekolah Katolik….berdayakan alumni seoptimal mungkin itu pertama, kedua berlakukan prinsip subsidi silang se adil dan se transparan mungkin.
Dimana ada upaya, di situ ada jalan….Deus Providebit….
sae Lek
salam JMJ